Apa efek samping penerimaan vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca dan bagaimana mencegah serta menanganinya? Ini menjadi banyak pertanyaan dan kekhawatiran, baik di kalangan masyarakat umum, bahkan hingga tenaga kesehatan itu sendiri.
Kasus COVID-19 menanjak dengan cepat di pelbagai belahan dunia, terutama dengan munculnya varian baru yang lebih menular. Hal ini membuat program vaksinasi diupayakan berjalan lebih cepat lagi. Mengapa demikian? Karena jika varian baru yang berubah sifat menjadi 50% lebih cepat menular jauh lebih berpotensi menyebabkan banyak kematian dibandingkan dengan jika varian baru berubah sifat menjadi 50% lebih mematikan.
Salah satu vaksin yang digunakan adalah AZD-1222 yang banyak ditulis dalam artikel ilmiah sebagai ChAdOx1 nCoV-19 atau kita kenal sebagai vaksin COVID-19 AstraZeneca; salah satu jenis vaksin yang diproduksi oleh Oxford-AstraZeneca yang bermarkas di Cambrige, Inggris Raya.
AZD-1222 merupakan vaksin berjenis vektor viral yang menggunakan virus lain untuk mendapatkan efek vaksinasi pada penerima. Ini berbeda jenis lainnya, misalnya Sinovac yang menggunakan virus yang tak teraktivitas, atau lebih sering dikatakan virus yang sudah “dimatikan.”

Vaksin AstraZeneca dibuat dengan menanamkan bagian RNA dari SARS-CoV-2 yang berfungsi untuk mentranskripsi protein S (diujung mahkota virus yang menjadi jembatan antara virus dengan sel inang) ke virus lain, umumnya adalah adenovirus yang sudah dihilangkan kemampuannya untuk menyebabkan penyakit dalam tubuh manusia.
Singkat cerita AstraZeneca adalah vaksin yang berisi adenovirus dengan materi genetik SARS-CoV-2 untuk merangsang sistem kekebalan tubuh pada penerima vaksin.
Vaksin AstraZeneca seperti vaksin COVID-19 lainnya, diharapkan dapat mengurangi angka kematian oleh COVID-19. Karena saat ini, satu-satunya metode mengurangi risiko kematian pada kasus COVID-19 adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi juga diharapkan mengurangi jumlah penderita COVID-19 yang harus sampai memerlukan perawatan di rumah sakit, mengurangi risiko infeksi, hingga mencegah penularan COVID-19 di tataran rumah tangga.
Oh ya, AstraZeneca bukanlah satu-satunya yang memproduksi vaksin dengan menggunakan vektor adenovirus, metode ini juga diterapkan pada vaksin buatan Johnson & Johnson.
Kekhawatiran yang kemudian muncul adalah vaksin AstraZeneca dapat menyebabkan pembekuan darah hingga kematian, dan menyebabkan penundaaan pemberiannya di beberapa negara termasuk di Indonesia. Penyelidikan setelahnya menyatakan vaksin aman digunakan.
Seperti halnya vaksin lain, ada sejumlah efek samping yang dapat dirasakan oleh penerima vaksin COVID-19.

Efek samping bisa muncul pada lebih dari separuh penerima vaksin, dan sebagian besar bersifat ringan serta membaik dalam satu atau dua hari ke depan. Efek samping yang dirasakan dapat berupa: pegal, nyeri, kemerahan, gatal, dan bengkak pada area suntikan; lelah, pusing, pegal linu, meriang, demam, mual muntah, hingga diaera.
Keluhan-keluhan tersebut umumnya mereda dengan sendirinya atau dengan bantuan obat-obatan ringan seperti parasetamol dan/atau antihistamin.
Lalu bagaimana yang katanya menyebabkan pembekuan darah hingga kematian?
Kasus ini sangat langka, dan dikenal sebagai kejadian VITT/TTS yang dapat ditelusuri melalui sejumlah penelitian permulaan.
WHO telah membuat pedoman sementara untuk diagnosis dan tatalaksana kasus sindrom trombosis dengan trombositopenia pasca vaksinasi COVID-19 dengan vaksin vektor adenovirus. Hal ini juga selaras dengan rekomendasi PAPDI terhadap penggunaan vaksin AstraZeneca.
Sedemikian hingga untuk menghindari kasus terjadi, calon penerima melalui skrining dengan tambahan detail dibandingkan dengan skrining pada vaksin non-vektor adenovirus. Misalnya untuk menemukan potensi riwayat trombosis pada pasien, seperti DVT (trombosis vena dalam), serta riwayat stroke dan/atau keguguran yang berulang yang mengarah pada kecurigaan adanya sindrom antifosfilipid.
Melalui kontekstualisasi risiko visual yang diterbitkan oleh EMA, kita bisa melihat bahwa vaksin ini efektif mencegah rawat inap pada kasus COVID-19 dengan sejumlah kejadian pembekuan darah lebih banyak pada mereka yang berusia di bawah 70 tahun.
Hal ini dan sejumlah studi pendukung yang mendorong tetap diberikannya vaksin AstraZeneca dengan melihat manfaat yang diberikan, dan diprioritaskan terhadap golongan usia tertentu (lansia) yang memiliki risiko TTS lebih rendah.
Gejala yang dicurigai sebagai TTS biasanya muncul antara hari ke-4 sampai hari ke-20 (dengan puncak pada hari ke-6 sampai ke-14) pascavaksinasi. Gejala tersebut termasuk:
- Sakit kepala yang terus-menerus, parah dan intens
- tanda-tanda trombosit rendah seperti petechiae, purpura atau mudah memar atau berdarah
- gejala neurologis fokal
- kejang atau penglihatan kabur/ganda (menunjukkan CSVT atau stroke arteri)
- sesak napas atau nyeri dada (menunjukkan emboli paru atau sindrom koroner akut)
- nyeri perut (menunjukkan trombosis vena portal)
- pembengkakan anggota badan, kemerahan, pucat, atau dingin (menunjukkan trombosis vena dalam atau iskemia ekstremitas akut)
- nyeri punggung
Jika Anda mengalami gejala-gejala tersebut pada hari ke-4 hingga ke-20 pascavaksinasi dengan vaksin AstraZeneca, segera kembali memeriksakan diri ke fasilitas yang memberikan vaksin atau ke Puskesmas terdekat. Jangan lupa membawa kembali kartu vaksin Anda, dan dokter mungkin perlu memeriksa sampel darah Anda (hitung darah lengkap, apusan darah tepi, atau hitung angka platelet) untuk menentukan kecurigaan TTS.
Sekali lagi, TTS merupakan kondisi yang sangat langka. Bahkan COVID-19 pun dapat mengakibatkan trombositopenia yang menjadi lampu merah risiko perburukan hingga kematian. Sedemikian hinga, jangan menghindari vaksinasi karena mengkhawatirkan efek samping.
Tinggalkan Balasan