Sebelum saya menulis lebih jauh, ini bukanlah pedoman bagaimana mengelola keselamatan pasien di Puskesmas. Tapi sedikit, saya akan berbagi mengenai awal mencoba mengelola tim keselamatan pasien di puskesmas. Tulisan ini akan menjadi lebih banyak narasi dibandingkan hal-hal teknis, namun mungkin Anda akan menemukan sesuatu yang bermanfaat di dalamnya.
Awal tahun ini, kepala puskesmas memanggil saya dan menyampaikan bahwa saya tidak lagi ditugaskan sebagai PJ (penanggung jawab) program PPI (pencegahan dan pengendalian infeksi), namun ditugaskan sebagai PJ Keselamatan Pasien dan memimpin tim keselamatan pasien yang baru dibentuk.
Saya sudah lama tidak turun campur dalam pengelolaan keselamatan pasien. Dan ini seperti “kejutan” di awal tahun.
Saya menyerahkan semua berkas PPI, termasuk KAK (kerangka acuan kerja) untuk tahun 2022 yang telah saya rancang di tahun lalu, sejumlah materi diklat yang saya susun, dan berkas lainnya. Karena saya tahu PPI bukanlah sesuatu yang mudah, jadi jika PJ membuat dari awal, maka mungkin akan kewalahan.
Sementara itu, saya sendiri mulai membuka kembali pedoman nasional dan internasional untuk keselamatan pasien, beserta sejumlah buku teks digital. Situs milik WHO, NICE, ARHQ menjadi santapan yang mau tidak mau harus ditelan.
Beruntung Tim KSP (keselamatan pasien puskesmas) – begitu saya sebut – ditenagai oleh mereka yang ulet. Saya agak tenang dibuatnya.
Sayangnya, awal tahun memang bukan waktu yang baik untuk memulai program baru di Puskesmas. Alasannya sederhana, DUPAK, begitu para ASN menyebutnya. Dan di bulan kedua ini, badai Pandemi dengan varian Omicron mulai melenggang membesar, membuat semakin sulit lagi.
Pertemuan dengan anggota tim dilakukan dengan separuh tatap muka bagi yang bisa hadir, dan yang tidak bisa mengikuti melalui tatap daring.
Misi dari dibentuknya tim keselamatan pasien adalah melahirkan budaya keselamatan di tempat tersebut. Dan untuk itu, tim sendiri harus dibekali dengan pengetahuan dan wawasan mengenai keselamatan pasien.
Terus terang tidak mudah, walau konsep keselamatan pasien tidak sulit. Belajar bersama mengenai keselamatan pasien ibarat mengunyah roti tawar dengan selai kerikil, sweet & hard.
Pertama, saya mengajak tim untuk mencoba melakukan analisis insiden keselamatan pasien. Mereka saya ajak praktik dulu sebelum teori, karena praktiknya tidak sulit dan untuk kasus sederhana bisa cepat selesai.
Ini berjalan dengan lancar. Kedua, saya ajak untuk berteori seputar pengantar keselamatan pasien di lingkungan Puskesmas.
Mereka masih agak bingung.
Situasi ini cukup wajar, karena memperkenalkan sesuatu yang sebagian besar baru. Keselamatan Pasien merupakan sebuah seni, dan banyak filosofi di dalamnya. Untuk memahami regulasi/aturan terkait keselamatan pasien, dan bagaimana melaksanakannya, maka filosofi keselamatan pasien selayaknya dipahami.
Aturan di sini tentunya adalah akreditasi Puskesmas. Kebetulan waktu yang tersedia bagi saya untuk menyampaikan pengantar tersebut singkat, sehingga banyak hal yang seharusnya saya sampaikan ulang di masa mendatang.
Ini memerlukan proses, saya menyadari hal itu.

Untuk mengurangi kebingungan mereka, atau kami lebih tepatnya. Saya membuatkan diagram kerangka kerja bagi tim.
Apa sih yang sebenarnya tim keselamatan pasien kerjakan?
Maka kerangka kerja tersebut setidaknya membantu kami menjadi pedoman. Setidaknya saya memberikan konsep sederhana, bahwa tiga pendekatan selayaknya terpenuhi, pendekatan administratif, pendekatan reaktif, dan pendekatan proaktif.
Karena keselamatan pasien terikat erat dengan mutu (atau peningkatan mutu) sebagaimana halnya PPI, maka ada beberapa hal terkait mutu – terutama manajemen risiko terkait keselamatan pasien yang saya senggolkan ke dalamnya.
Oleh karena itu, dalam beberapa pekan ke depan saya merencanakan berbagi mengenai bagaimana melakukan RCA (root cause analysis – analisis akar masalah) serta FMEA (failure mode and effect analysis – analisis efek dan mode kegagalan) bagi tim dan para pimpinan unit.
Keduanya bukan proses analisis yang rumit, tapi memerlukan jam terbang dan keahlian seiring dengan seringnya mengerjakannya.
Tentu saja ada sejumlah softskill yang sebaiknya dikuasai untuk mempermudah melakukan analisis.
Belum lagi dengan pelaporan IKP (insiden keselamatan pasien) ke KNKP (komite keselamatan pasien nasional), penyusunan pedoman, hingga pengumpulan data dan pelaporan indikator mutu nasional puskesmas pada bidang keselamatan pasien – yaitu indentifikasi pasien dengan benar; yang kesemuanya masih perlu sejumlah target untuk terpenuhi dalam beberapa bulan ke depan.
Saya sendiri berharap, tim kecil kami bisa mulai mengawali perubahan dari yang kecil untuk kemudian mencapai hal-hal yang lebih besar.

Tinggalkan Balasan