A Cahya Legawa's Les pèlerins au-dessus des nuages

  1. 1. Prinsip Utama: Pasien di Atas Segalanya (Patient-Centered)
    1. Menjaga Kerahasiaan (Privasi) Pasien
    2. Informed Consent Digital
  2. 2. Batas Profesional: Teman atau Dokter?
    1. Konsultasi Jalur Pribadi (Direct Message)
    2. Kehidupan Pribadi vs Profesional
  3. 3. Validitas Informasi dan Perang Melawan Hoaks
  4. 4. Konflik Kepentingan dan Endorsement
    1. Fatwa Etik Kedokteran Indonesia
  5. 5. Sejawat dan Kolegialitas
  6. Kesimpulan: Saring Sebelum Sharing

Dunia kesehatan telah mengalami transformasi digital yang radikal. Jika pada tahun 2010-an kita mengenal istilah “Narablog Medis” (dokter yang menulis blog), kini kita berada di era “Medfluencer” (Medical Influencer). Platform seperti Instagram, TikTok, Twitter (X), dan YouTube telah menjadi ruang tunggu praktik virtual raksasa.

Mengacu pada semangat dan memperbarui tulisan legawa.com tahun 2010 mengenai kode etik narablog, esensi dasar dari kehadiran tenaga medis di dunia maya tetap sama: memberikan edukasi tanpa melanggar sumpah profesi. Namun, tantangannya kini jauh lebih kompleks. Tulisan ini akan membedah secara mendalam bagaimana seorang dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lain harus bersikap di ruang digital, berdasarkan standar etika medis terkini.


1. Prinsip Utama: Pasien di Atas Segalanya (Patient-Centered)

Aturan emas dalam kedokteran, primum non nocere (pertama, jangan menyakiti), berlaku sama kuatnya di dunia maya seperti halnya di ruang operasi.

Menjaga Kerahasiaan (Privasi) Pasien

Ini adalah pelanggaran yang paling sering terjadi, terkadang tanpa disadari. Mengunggah foto rontgen yang “unik”, luka yang “ekstrem”, atau cerita pasien yang “lucu” bisa menjadi pelanggaran etika berat jika pasien dapat teridentifikasi.

  • Aturan: Menghapus nama pasien saja tidak cukup. Jika ada tato, tanda lahir, perhiasan, lokasi spesifik, atau tanggal kejadian yang bisa membuat orang lain (keluarga/teman pasien) mengenali siapa subjek tersebut, maka itu adalah pelanggaran privasi.
  • Standar Global: Pedoman dari World Medical Association (WMA) dan aturan HIPAA1 di Amerika Serikat, serta UU Kesehatan di Indonesia, sangat ketat mengenai hal ini. Identitas pasien adalah milik pasien, bukan konten.

Jika seorang tenaga medis ingin menggunakan kasus pasien untuk tujuan edukasi publik, persetujuan lisan tidak cukup. Harus ada informed consent2 tertulis di mana pasien memahami bahwa data medisnya (foto/video) akan dilihat oleh ribuan bahkan jutaan orang secara permanen.

Catatan Penting: Pasien mungkin setuju karena merasa “tidak enak” menolak permintaan dokternya (relasi kuasa). Oleh karena itu, tenaga medis harus sangat bijak dan tidak memanfaatkan posisi mereka demi konten.


2. Batas Profesional: Teman atau Dokter?

Media sosial mengaburkan batas antara kehidupan pribadi dan profesional.

Konsultasi Jalur Pribadi (Direct Message)

Seringkali pengikut (followers) mengirim pesan berisi foto keluhan kulit atau hasil lab dan meminta diagnosis.

  • Bahaya: Memberikan diagnosis tanpa pemeriksaan fisik langsung (atau melalui telemedicine3 yang terstandarisasi) sangat berisiko salah diagnosis.
  • Sikap Etis: Dokter sebaiknya memberikan edukasi umum, bukan saran medis spesifik untuk individu tersebut. Arahkan pasien untuk datang ke fasilitas kesehatan atau gunakan aplikasi telemedicine resmi yang memiliki perlindungan hukum dan rekam medis.

Kehidupan Pribadi vs Profesional

Bolehkan dokter memposting foto liburan berbikini atau pesta? Secara hukum mungkin boleh, namun secara etika profesi, tenaga kesehatan memikul beban marwah (kehormatan) profesi. Apa yang ditampilkan di media sosial membentuk persepsi publik terhadap integritas profesi medis secara keseluruhan.


3. Validitas Informasi dan Perang Melawan Hoaks

Di era “banjir informasi”, tenaga kesehatan adalah mercusuar kebenaran ilmiah.

  • Berbasis Bukti (Evidence-Based): Setiap klaim medis yang ditulis atau diucapkan harus memiliki dasar ilmiah yang kuat (jurnal, pedoman klinis). Jangan menyebarkan “katanya” atau testimoni anekdotal yang belum teruji.
  • Jujur akan Keterbatasan: Jika sebuah topik berada di luar kompetensi spesialisasi Anda, katakanlah atau rujuk ke ahli yang sesuai. Seorang Dokter Umum sebaiknya tidak memberikan saran spesifik mendalam mengenai teknik bedah saraf yang kompleks, misalnya.
  • Menyikapi Hoaks: Tenaga kesehatan memiliki kewajiban moral untuk meluruskan informasi kesehatan yang salah yang beredar di masyarakat dengan cara yang santun dan edukatif, bukan menghina.

4. Konflik Kepentingan dan Endorsement

Ini adalah area abu-abu terbesar di era Medfluencer. Ketika dokter mempromosikan produk suplemen, susu, atau alat kesehatan, apakah ia bicara sebagai ahli medis yang objektif atau sebagai marketer berbayar?

Fatwa Etik Kedokteran Indonesia

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan pedoman (Fatwa MKEK No. 029/PB/K.MKEK/04/2021)4 yang menegaskan:

  1. Dokter dilarang mempromosikan produk kesehatan dengan mengklaim khasiat penyembuhan (iklan) yang berlebihan atau tidak sesuai fakta ilmiah.
  2. Jika melakukan endorsement, dokter wajib transparan (misalnya menggunakan tagar #iklan atau #ad) dan memastikan produk tersebut aman serta terdaftar di BPOM.
  3. Dokter tidak boleh menggunakan atribut profesi (jas putih, stetoskop) untuk mengiklankan produk non-kesehatan atau produk yang klaimnya meragukan, karena itu “menjual” otoritas dokter untuk kepentingan komersial.

5. Sejawat dan Kolegialitas

Etika tidak hanya ke pasien, tapi juga ke sesama rekan profesi.

  • Dilarang Merendahkan: Dilarang keras mengkritik terapi atau diagnosis rekan sejawat lain secara terbuka di media sosial (“Wah, obat dari dokter sebelumnya ini salah besar!”). Perbedaan pendapat medis harus diselesaikan di forum ilmiah atau audit medis tertutup, bukan di kolom komentar Instagram demi viralitas.
  • Debat Sehat: Perdebatan ilmiah diperbolehkan selama berbasis data, santun, dan tidak menyerang pribadi (ad hominem).

Kesimpulan: Saring Sebelum Sharing

Menjadi tenaga kesehatan di era digital adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, Anda memiliki kekuatan untuk mengedukasi jutaan orang dan mencegah penyakit. Di sisi lain, satu klik yang salah dapat menghancurkan karir dan kepercayaan publik terhadap profesi.

Prinsipnya sederhana:

  1. Jika ragu, jangan posting.
  2. Perlakukan data digital pasien seaman brankas rumah sakit.
  3. Jadilah cahaya penerang di tengah kegelapan hoaks, bukan penambah kebisingan.

Dunia butuh lebih banyak narablog dan pembuat konten kesehatan yang cerdas, empatik, dan yang paling penting: etis.


Catatan Kaki & Istilah:

  1. HIPAA (Health Insurance Portability and Accountability Act): Undang-undang di Amerika Serikat yang memberikan standar privasi untuk melindungi rekam medis pasien dan informasi kesehatan lainnya. Sering menjadi acuan standar etika global. ↩︎
  2. Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis): Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Dalam konteks digital, ini berarti persetujuan untuk dipublikasikan. ↩︎
  3. Telemedicine: Praktik pelayanan kesehatan jarak jauh menggunakan teknologi telekomunikasi, memungkinkan konsultasi dokter-pasien tanpa tatap muka fisik. ↩︎
  4. Fatwa MKEK: Keputusan atau pendapat hukum tidak mengikat (secara hukum negara, namun mengikat secara etika organisasi) yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran terkait isu-isu spesifik. ↩︎

Referensi:

  • Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). (2021). Fatwa Etik Dokter dalam Bermedia Sosial (SK MKEK No. 029/PB/K.MKEK/04/2021).
  • World Medical Association (WMA). (2011). WMA Statement on the Professional and Ethical Use of Social Media.
  • Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). (2006). Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran.
  • American Medical Association (AMA). Code of Medical Ethics Opinion 2.3.2: Professionalism in the Use of Social Media.

Disclaimer: Artikel ini bertujuan untuk edukasi dan informasi umum. Tulisan ini tidak menggantikan pedoman resmi organisasi profesi, peraturan perundang-undangan yang berlaku, maupun konsultasi hukum atau etika dengan lembaga yang berwenang.

Commenting 101: “Be kind, and respect each other” // Bersikaplah baik, dan saling menghormati (Indonesian) // Soyez gentils et respectez-vous les uns les autres (French) // Sean amables y respétense mutuamente (Spanish) // 待人友善,互相尊重 (Chinese) // كونوا لطفاء واحترموا بعضكم البعض (Arabic) // Будьте добры и уважайте друг друга (Russian) // Seid freundlich und respektiert einander (German) // 親切にし、お互いを尊重し合いましょう (Japanese) // दयालु बनें, और एक दूसरे का सम्मान करें (Hindi) // Siate gentili e rispettatevi a vicenda (Italian)

24 tanggapan

  1. imadewira Avatar

    sejauh ini beberapa blog yang ditulis oleh dokter yang saya tahu sudah lebih dari cukup menggunakan etika-etika diatas.
    .-= imadewira´s last blog ..Cara Meningkatkan Page Rank =-.

    Suka

    1. Cahya Avatar

      Mungkin karena secara otomatis terbawa etika profesi, jadinya demikian juga yang tertuang dalam media blog Bli Wira 🙂

      Suka

  2. aldy Avatar
    aldy

    Mas Cahya,
    Saya selalau meletakkan sebuah kepercayaan kepada dokter yang merawat saya, karena saya percaya ada kode etik yang membatasi dokter untuk tidak mempublikasikan penyakit sipasien dengan nama yang jelas ( jika dengan tersamar; saya kira tidak masalah toh akhirnya untuk kepentingan bersama juga ).
    Terkait dengan dokter yang menjadi narablog, saya kira tidak jauh berbeda; prinsip yang sama juga juga harus dijalankan sebagaimana dinyatakan pada disclaimer.

    Suka

    1. Cahya Avatar

      Pak Aldy,

      Tentang kerahasiaan medis sebenarnya sudah jadi aturan baku di dunia medis yang tidak boleh dilanggar, istilahnya medical secrecy.

      Saya tambahkan kutipannya dari jurnal di tahun 1927 berikut yang saya ambil dari BMJ:

      “It is essenitial that each patient attending for diagnosis or treatment should be assured that, althouglh his home be kept confidentially address will for reference, it will never be com- musicated to others. The desirability of having the home address in order to be able to arrange subsequent appointments should be explained to the patient.”
      ” At an early visit the patient’s name and home address should be noted confidentially and kept separate from his clinical record. It should be explained to the patient that the home address will under no circumstances be used except for confidential communications to the patient himself respectinig his treatment.”

      Suka

    2. dani Avatar
      dani

      Maksud saya, link blog saya. Saya juga baru ngeh. Kadang muncul, kadang ngga. Apa karena sering disable image ya. Jadi kehilangan informasi. 😦

      Di Indo kan juga apa hukum yang mengatur rekam medis. Lupa nomornya.
      .-= dani´s last blog ..HONcode Seal on SERPs and Online References =-.

      Suka

    3. Cahya Avatar

      Bli Dani,

      Maksudnya Permenkes 269/MENKES/PER/III/2008 ya?

      Suka

  3. hielmy Avatar
    hielmy

    ya mungkin intinya kurang lebih sama dengan kode etik profesi di dunia nyata ya pak? 🙂

    btw para dokter dan petugas kesehatan yang juga sebagai narablog yang saya tau malah kebanyakan bicara tentang TIK 😀

    Suka

    1. Cahya Avatar

      Mas Hielmy,

      Istilahnya mungkin dunia maya jangan sampai melanggar etika dunia nyata 😉

      Hmm…, TIK = Teknologi Informasi dan Komunikasi? Saya ga tahu juga ya, mungkin ada yang begitu, mungkin juga tidak. Sebagian besar sih memang tidak nyambung dengan bidangnya – nge-blog kan hobi ga mesti selalu tentang profesi 🙂

      Suka

    2. hielmy Avatar
      hielmy

      ya begitulah, di dunia manapun kan ada etikanya, baik etika secara umum (netiket) maupun etika khusus (misal etika profesi). 🙂

      yah yang bicara TIK ini sebatas yang saya tahu loh, mungkin sebenarnya lebih banyakan yg bicara tentang medis, cuma saya tidak tahu saja 😀

      Suka

    3. dani Avatar
      dani

      Ada banyak juga yang membahas masalah kesehatan plus (multitopik). Ada cakmoki, dr. Basuki di atas, dr. sukma merati, dr. cock wirawan, dll.

      Saya kebagian jembatan antara kedokteran dan TIK. 🙂 Bagi tugaslah.

      Ternyata logo honcode-nya muncul di halaman ini kalau masang pengaya hon.
      .-= dani´s last blog ..Doctor, do not Blog About This =-.

      Suka

    4. Cahya Avatar

      Koq kaya anggota dewan saja bagi-bagi jatah 😆 ?

      Tapi jadinya ada sudut pandang unik tercipta di sana sini 🙂

      [OOT] Koq bisa Bli, sepertinya saya tidak mensertifikasi ke HONCode-nya?
      .-= Cahya´s last blog ..Pertolongan Pertama Pada Stroke =-.

      Suka

  4. dani Avatar
    dani

    Haiyah, bolak-balik lagi format komentarnya. 😛 Tapi bagusan yang bawaan WordPress memang.

    Jadi, untuk format komersial, bagaimana membedakannya?

    Menurut saya, dibanding prinsip HONcode, etika cara di atas masih ada kurangnya. Misal: penulisan (keterangan) waktu pemutakhiran terakhir, anjuran penyebutan identitas profesi di diskusi/komentar terkait kesehatan/kedokteran.

    Kadang, pranala atau tulisan berbayar kan disyaratkan tidak boleh ditandai bahwa itu sponsor/pesanan atau sejenisnya. Solusinya?

    [OOT] memajang pranala login admin = ‘menantang’ hacker. 🙂

    ketangkep akismet atau koneksi saya yang dodol nih.. 😀
    .-= dani´s last blog ..HONcode Seal on SERPs and Online References =-.

    Suka

    1. Cahya Avatar

      Yah, kadang back to basic 😀

      Saya tidak tahu apa ada format resmi untuk konten komersial jika itu maksudnya. Apa hal ini menghalangi kreativitas si empunya blog untuk menyatakan bahwa itu konten komersial atau bukan.

      Biasanya (jika saya) diletakkan di bagian disclaimer:

      does not constitute a legal contract between [blog name] and any person or entity unless otherwise specified.

      Jadi semua konten tidak ada hubungan dengan badan lain (termasuk kepentingan komersial), kecuali dinyatakan demikian. Nah, jadi mungkin “dinyatakan demikian” inilah yang menurut saya perlu disampaikan jelas pada pembaca. Mungkin melalui canonical tag atau post script?

      Kalau HONCode saya serahkan pada Dokter Dani yang ahlinya, siapa tahu besok jadi ketua perwakilan di Indonesia, kan bisa minta aturan yang sudah dialihbahasakan 😀

      Hmm…, ada syarat seperti itu? Kembalikan lagi pada konsep awalnya, saya membuat pembatasan (disclaimer) seperti di atas. Berarti blog ini tidak boleh melewati pembatasan itu. Kalau menerima syarat demikian berarti sudah melewati batas kan 😉

      [OOT] Oh saya lupa, tadi diminta nyoba plugin, kayanya sudah bisa deh, makasih dah diingatkan. Btw, apa ada reply ini muncul di mailbox Bli Dani?

      Suka

    2. dani Avatar
      dani

      WebMD dan anak bisnisnya kayaknya dulu memakai penanda kategori atau semacam keterangan di post-title bahwa tulisan itu advertorial.

      Saiap tahu di blog ini nanti ada yang mau membayar untuk sejumlah dana tentang posting titipan? 🙂

      Ini dari surel. It works.
      .-= dani´s last blog ..Bukan SEO-SEM, hanya sekadar Web Accessibility dan Usability =-.

      Suka

    3. Cahya Avatar

      Sayang, kalau mereka minta saya yang me-review, takutnya produk mereka malah jadi ga laku 😆

      Suka

  5. dani Avatar
    dani

    Haiyah, bolak-balik lagi format komentarnya. 😛 Tapi bagusan yang bawaan WordPress memang.

    Jadi, untuk format komersial, bagaimana membedakannya?

    Menurut saya, dibanding prinsip HONcode, etika cara di atas masih ada kurangnya. Misal: penulisan (keterangan) waktu pemutakhiran terakhir, anjuran penyebutan identitas profesi di diskusi/komentar terkait kesehatan/kedokteran.

    Kadang, pranala atau tulisan berbayar kan disyaratkan tidak boleh ditandai bahwa itu sponsor/pesanan atau sejenisnya. Solusinya?

    [OOT] memajang pranala login admin = ‘menantang’ hacker. 🙂
    .-= dani´s last blog ..HONcode Seal on SERPs and Online References =-.

    Suka

  6. suzan Avatar
    suzan

    emang ada larangan untuk dokter atau profesional lainnya menjadi narablog, terkadang kode etik itu memang harus berlaku untuk semua tidak hanya kalangan profesional saja, karena apa yang kita tulis adalah mencerminkan diri kita, terkadang tulisan sama seperti ucapan, bahkan mungkin bisa lebih tajam… setajam pisau 😀

    Suka

    1. Cahya Avatar

      Suzan bisa saja. Tidak ada larangan sebenarnya, walau ada anjuran untuk tidak.

      Coba tengok tulisan yang berjudul “Dokter Jangan Ngeblog oleh Dokter Dani Iswara kira-kira setahun yang lalu.

      Ya, saya rasa ada tata krama khusus di blogsphere, namun jika tulisan menyangkut profesi tertentu maka kode etik yang mengikat profesi tersebut akan ikut terbawa.

      Wah…, jangan tajam-tajam, nanti luka di sana-sini 🙂
      .-= Cahya´s last blog ..Pertengkaran Alfred dan Bob =-.

      Suka

  7. iiN greeN Avatar
    iiN greeN

    —- he.. dokter gaul tuh jadinya.. 🙂

    Suka

    1. Cahya Avatar

      Begitukah…? Yah, selama tidak melupakan apa yang seharusnya dikerjakan, tidak apa-apalah, hobi 😉

      Suka

  8. Basuki Pramana Avatar

    Saya pakai Nokia E63, kadang kala masuk SMS yg nawarin iklan atau salah sambung. Nyeblein juga ya. Lalu saya minta diinstall ( di Counter HP, Rp. 15.000,- ) softwarae Handy Black List utk Nokia. Bila ada SMS yg negerepotin, masukkan saja ke dalam daftar Block. Bila lain kali ia dari NO HP yg sama kirim SMS / mau bicara, pasti tidak bisa nyambung ke HP kita. Bila mau di batalkan dari daftar Black list lakukan menu UnBlock. Caranya simple tapi banyak manfaatnya. Semoga berhasil.

    Suka

    1. Cahya Avatar

      Makasih Dok 🙂

      Suka

  9. babi ngepet Avatar
    babi ngepet

    selamat malam…..ini kunjungan perdana di blognya mas, wakh keren buanget nih informasinya. tukeran linknya mas, boleh gag mas?

    Suka

    1. Cahya Avatar

      Terima kasih, namun maaf, seperti yang dapat dilihat saya tidak memiliki fasilitas blogroll maupun yang lainnya untuk bertukar pranala.
      .-= Cahya´s last blog ..Pertengkaran Alfred dan Bob =-.

      Suka

Tinggalkan Balasan ke iiN greeN Batalkan balasan