Setiap orang mungkin tahu bahwa sesungguhnya dia tidaklah begitu bodoh, walau tentu ia bukan juga dikategorikan sebagai makhluk yang cerdas. Namun karena beberapa hal, dia memiliki tempat tertentu di masyarakat, sebutlah ia sebagai si bodoh.
Hari ini kebetulan si bodoh akan diwawancarai oleh seorang wartawan pemula (sebenarnya karena baru pertama kali terjun ke lapangan untuk wawancara). Rupa-rupanya wartawan ini lupa mempelajari sedikit banyak kehidupan nara sumbernya kali ini, dan si bodoh pun tampaknya masa bodoh dengan masalah itu.
Wartawan mulai membuka notes-nya dan bertanya pada si bodoh (B)…
W: B, rumah anda luas, tapi kenapa sepi ya. Ke mana keluarga anda yang lain?
B: Wah, saya hidup sendiri. Tidak ada siapa-siapa di sini kecuali saya, pelayan-pun hanya datang dua atau tiga kali seminggu untuk bersih-bersih saja.
W: Oh maaf, saya tidak tahu Anda hidup sendiri… (tertunduk agak malu).
B: Tak apa-apa, saya biasa mendapat pertanyaan seperti itu.
W: (tiba-tiba mendapat ide ke mana plot wawancaranya akan mengarah) Maksud Anda?
B: Ya…, tak banyak yang tahu saya hidup sendiri – mungkin karena rumah besar ini dikiranya saya berkeluarga, apa lagi karena saya punya banyak rumah, jadi mereka tidak harus menduga keluarga saya wajib tinggal di rumah saya yang satu ini.
W: Oh… (astaga…, kaya amat nih orang dalam pikirnya), mengapa Anda tidak berkeluarga, bukankah Anda sudah agak lewat umur untuk itu – maaf…
B: Saya tidak punya alasan untuk itu, jadi kenapa saya harus…?
W: (terheran-heran)… Apakah Anda tidak pernah berencana menikah, atau apakah karena Anda belum menemukan seseorang yang cocok sebagai pendamping hidup…?
B: Dulu mungkin ya, beberapa tahun yang lalu, saya punya seorang yang saya cintai, dan dia pun berkata dia mencintai saya – pernah kami berpikir bersama untuk hidup berbahagia….
W: (Wow…, cerita klasik, sepertinya menarik untuk diungkit dan diangkat) Lalu apa yang terjadi dengan kalian?
B: Ya tentu saja tidak terjadi apa-apa, jika terjadi sesuatu, pastilah lain ceritanya saat ini.
W: (Ya ampun, terlalu simple minded nih) Bukan begitu, maksud saya mengapa kalian tidak menikah?
B: Katakanlah karena suatu hal, dia harus berjanji mendampingi orang lain hingga akhir hidupnya – apa itu sudah cukup menjelaskan?
W: Ya tentu saja, tapi itu tak menjelaskan kenapa Anda – yang mungkin dalam banyak kesempatan bertemu juga dengan orang lain – untuk memulai kesempatan hidup berdampingan? (meremas pulpennya karena saking gregetan).
B: Hmm…, seingat saya dulu saya pernah berkata, bahwa saya hanya mencintainya dalam sebuah hubungan perasaan yang istimewa, tak tergantikan, sesuatu yang memanggil untuk tidak saling berpaling. Saya tak jatuh cinta lagi pada orang lain, dan tanpa itu bagaimana orang dapat berpikir ia akan menjalani kehidupan berdampingan? Saya rasa itu sesuatu hal yang saya logis.
W: Bukankah jatuh cinta adalah sesuatu yang sederhana, apakah itu begitu sulit menurut Anda?
B: Tidak, tidak… Jatuh cinta adalah sederhana, bahkan Anda tidak perlu memolesnya agar jadi lebih indah. Saya pernah jatuh cinta, hati saya pernah mencintai dan ia telah memberikan seluruh dayanya pada cinta ini – begitulah ketetapannya, saya tak bisa lakukan apa pun. Sesederhana hati saya mencintai, sesederhana itu pula ia tak bisa jatuh cinta pada yang lain. Dan saya tak punya kuasa apa pun untuk memaksa yang satu ini, atau saya hanya akan membohongi diri saya sendiri.
W: Tidakkah ada lawan jenis lain yang pernah menarik perhatian Anda lagi?
B: Tentu banyak yang menarik perhatian saya, banyak yang baik dan santun, cerdas, kreatif, dapat diandalkan dan dipercaya, nyaris sempurna dalam berbagai hal.
W: Lalu…?
B: Ya, kembali pada apa yang saya sampaikan sebelumnya.
W: Bagaimana Anda yakin bahwa Anda tidak melewatkan sesuatu yang ternyata itu cinta?
B: Bagaimana Anda bisa…?
W: Entahlah…, saya tidak tahu, saya tidak yakin?
B: That is it…! You don’t believe so you don’t know. Just believe in your heart, not your thought. Jika Anda seorang pria, mungkin pikiran Anda akan menginginkan memiliki semua wanita yang terbaik di dunia. Tapi jika Anda dengan sederhana yakinkan urusan ini pada hati anda, semua pikiran konyol itu akan hilang dengan sendirinya, dan Anda tahu bahwa Anda tak melewatkan apa pun…
W: Tapi di luar sana ada banyak orang yang bisa jatuh cinta lagi dan hidup berbahagia, apakah mereka orang yang berpikiran bodoh…?
B: Nah, lihat Anda sudah berpikir lagi, dan lihat Anda tampak bingung dan konyol (tertawa kecil). Saya tak pernah bilang orang tak bisa atau tak boleh jatuh cinta lagi, kalau ini diperdebatkan sebagai konsep dalam pikiran – seluruh dunia bisa bingung dibuatnya. Buka hati Anda, buat ia awas dan rentan terhadap dunia, ia akan memahami apa yang menjadi pilihannya, apa yang menjadi kebijaksanaannya.
Bagi saya, inilah kebijaksanaan yang ditawarkan hati saya pada kehidupan saya, dan saya menerimanya dalam suka cita. Belum tentu jalan yang sama akan menjadikan kebijaksaan pada hati orang lain, setiap hati membangun dan membawa kebijaksanaannya masing-masing, jika jalan cinta dibuka kembali, maka itulah kebijaksanaan yang ditawarkan pada kehidupan seseorang – Anda hanya perlu melangkah atau tidak sama sekali. Jangan bandingkan hati anda dengan hati orang lain, pikiran Anda mungkin akan terlalu picik untuk tidak menyulut masalah-masalah baru yang justru tidak bermakna sama sekali bagi kehidupan.
W: (dengan beberapa bintang berputar-putar di sekitar kepalanya) Dapatkah Anda mencontohkan di kehidupan yang nyata?
B: Ah…, apakah Anda memiliki kekasih atau pasangan – Anda masih tampak muda?
W: Belum, saya sebenarnya sedang ada yang saya suka, tapi kami belum sejauh itu (lha, kok yang diwawancara malah saya).
B: Mengapa tidak bergerak lebih jauh, buatlah kemajuan?
W: Saya tidak yakin dia punya perasaan sama…, mungkin? (Waduh, kok yang terekspos malah kehidupan pribadi saya.)
B: Lalu apa yang Anda lakukan jika ia berkata ia mencintai Anda – walau Anda belum berkata perasaan anda padanya?
W: (dengan berbinar) tentu saja saya juga menyampaikan perasaan saya dan berharap kami jadi pasangan… (kemudian menyadari kekanakannya dan berusaha tampil cool kembali) tapi itu wajar bukan?
B: Lalu apa yang terjadi jika kemudian Anda tahu, ia memiliki kisah seperti saya – sebenarnya hatinya tak bisa jatuh cinta lagi, namun memilih tidak mengikuti kata hatinya dan memilih hidup “seperti” jatuh cinta pada Anda?
W: Tapi mengapa…? (sambil agak berteriak, terbawa emosi, mengira-ngira apakah hal itu mungkin terjadi, dan berharap seandainya pengandaian ini tak pernah ia dengarkan)
B: Katakanlah ia orang yang baik di satu sisi, mungkin dia tahu perasaan anda dan tidak ingin Anda kecewa serta menangis, karena ia pernah memiliki perasaan yang sama, jadi ia memutuskan untuk tidak membuat anda mengalami apa yang ia alami. Atau di sisi yang lain, dia orang yang baik, menuruti harapan orang tuanya untuk mendapatkan pendamping hidup.
W: Kedua itu sisi yang baik…? (tapi kenapa terasa sama-sama tak adil bagi saya)
B: Well, saya tak pernah menganggap orang itu buruk, jadi kita semua orang yang baik hanya saja dengan sisi-sisi yang berbeda. Lalu bagaimana apa Anda bisa menerimanya?
Peliput berita itu terdiam, ia kini berpikir dalam-dalam…
Di dunia ini berbagai kebijaksanaan dapat hadir, kini apakah seseorang bersedia membuka diri terhadapnya, saya rasa kembali pada masing-masing individu. Kita sering mendengar, nyalakan pelita hatimu – dan biarkan ia menjadi pandumu; tapi kini kita lebih suka kelap-kelip pikiran yang serba gempita bak lampu diskotik yang membuat setiap penikmat termabukkan.
Hidup sederhana dalam sebuah pandangan hati yang polos, namun kita tak terbiasa dengan kepolosan. Ketika hidup memberi sebuah tantangan, pikiran kita yang selalu kompleks sering kali kusut dalam meresponsnya, sehingga kita kalang kabut mencari panduan kehidupan. Kadang terjadi benturan, ada sesuatu yang berbeda, tapi panduan yang kita pegang berkata lain, konflik bermunculan dalam diri kita, rasanya hati dan pikirannya menjadi panas – seperti aroma prosesor komputer yang terbakar arus tegangan tinggi.
Ketidakjujuran kita pada kebijaksanaan yang ditawarkan oleh hati ini menjadi sumber banyak masalah dalam kehidupan ini, lalu siapa yang akan kita salahkan?
Tinggalkan Balasan