The Last Airbender

Kali ini saya akan menulis sedikit tentang film ‘The Last Airbender’ yang sudah rilis sejak minggu lalu di Indonesia. Sebenarnya sih Bhyllabus sedang dalam masa hibernasi saat ini, namun karena tulisan ini sudah ‘ditodong’ oleh salah satu kolega saya yang sudah baik hati mentraktir nonton film ini sehari yang lalu, jadi saya pun akan memberikan sedikit ulasan amatiran saya seperti biasanya.

Kita semua pastinya sudah tahu bahwa film ‘The Last Airbender’ ini adalah karya sutradara & penulis naskah M. Night Shyamalan yang diadaptasi dari serial animasi ‘Avatar: The Last Airbender’ (juga dikenal sebagai ‘Avatar: The Legend of Aang’) yang diciptakan oleh Michael Dante DiMartino dan Bryan Konietzo – salah satu dari film animasi anak terlaris di dunia.

Sebagai penulis naskah & Sutradara, Shyamalan sudah menghasilkan beberapa karya lainnya yang mungkin Anda kenal seperti The Happening (2008), Lady in the Water (2006), dan Stuart Little (1999). Saya berharap sentuhan Shyamalan kali ini dalam ‘The Last Airbender’ akan cukup bagus, mengingat karya-karyanya yang sebelumnya.

Namun terus terang saja, saya harus menahan sedikit rasa kecewa di dalam diri saya – kekecewaan yang serupa (atau lebih parah) ketika saya menonton film ‘Avatar’ karya James Cameron, atau film ‘2010’ yang penuh kontroversial itu. Tapi tentunya film ini tetap menarik disimak oleh anak-anak, yang akan melihat beberapa sudut berbeda dari cerita yang dulu mereka hanya lihat dalam dunia animasi.

Coba saya lihat ulang beberapa alasan kekecewaan saya, walau mungkin itu bisa menjadi alasan yang baik untuk tidak kecewa. Pertama, karakter dalam serial animas ‘Avatar: The Last Airbender’ termasuk karakter yang unik, perpaduannya memang sulit ditemukan dalam sehari-hari, karena banyak membawa nilai moral dari budaya Timur. Dalam film ‘The Last Airbender’ – saya khawatir – karakter-karakter ini tidak dapat dihidupkan dengan baik. Jadi ketika pergi ke bioskop hanya menonton orang-orang baru dengan nama peran yang sama, sama sekali tidak menghidupkan peran tokoh-tokohnya. Jadi rasanya menonton kisah dari dunia pararel, serupa tapi tak sama. Jika Anda ingin sesuatu yang bisa menghidupkan animasinya di layar lebar, mungkin Anda akan kecewa, tapi jika Anda menginginkan sesuatu yang baru dan segar, mungkin film ini akan menghibur.

Kedua, alur & latar cerita. Salah satu bagian yang menguatkan animasi ‘Avatar: The Last Airbender’ adalah jalan cerita yang tidak monoton, lumayan sulit diterka, dan memang memiliki daya tariknya, sedemikian hingga banyak orang yang menonton berkali-kali pun tidak akan merasa bosan. Namun dalam film ‘The Last Airbender’, alur & latar cerita nyaris berbeda sepenuhnya, jika seseorang tidak pernah menonton serial animasinya mereka bisa jadi kebingungan dengan kisah ini. Setidaknya begitulah yang saya temukan di tempat parkir ketika seseorang berusaha keras menjelaskan pada temannya (yang mungkin belum pernah menonton animasinya) yang bingung dengan jalan cerita yang baru saja mereka tonton.

Film ini hanya dimulai dan diakhiri di lokasi yang sama dengan serial animasinya, lalu apa yang terjadi di antara dua lokasinya dan bagaimana perjalanannya sama sekali berbeda. Di film ini Anda tidak akan menemukan para pejuang Kyoshi, tidak ada pertemuan dengan Raja Bumi – padahal Raja Bumi adalah salah satu bagian dari pimpinan Ordo Lotus Putih yang mengarahkan Aang guna menemukan guru pengendalian buminya, tidak ada pertempuran aerial melawan armada laut negara api ketika Aang mencoba menemui Avatar Roku. Namun sebaliknya Aang dan rekan-rekannya bergerilya membebaskan berbagai desa kerajaan bumi dari jajahan negara bumi, dan akhirnya bertemu roh naga yang menuntunnya pergi ke suku air Utara untuk menahan serangan negara api. Berbeda sekali dengan serial animasinya yang memang sengaja dari awal mengisahkan Aang dan rekan-rekannya yang ingin mencari guru pengendalian air di suku air Utara.

Dalam film ini, Aang ternyata tidak lebih berbakat daripada Katara dalam pengendalian air, padahal di serial animasinya kita sudah melihat yang sebaliknya. Tentu saja pembalikan fakta ini memiliki tujuan untuk memotong alur cerita sehingga bisa diperpendek untuk tayangan sebuah film yang berdurasi sekitar dua jam ini (ah, saya lupa menghitung waktunya).

Film ini hanya memuat buku pertama, ‘Water’ dari tiga buku yang menjadi seluruh serial animasi Avatar, jadi belum termasuk buku kedua (‘Earth’) dan buku ketiga (‘Fire’). Oleh karenanya film ini lebih banyak pada pengenalan tokoh dan tentu saja tentang pengendalian elemen air. Jika melihat dari gerakan yang diperagakan, mungkin teknik yang digunakan diambil dari seni Taijikuan (dikenal juga sebagai tai chi chuan), dan jika Anda pernah membaca komik Kenji di era akhir 80-an atau sekitar tahun 90-an, maka tentu saja akan familir dengan gerakan-gerakan yang ada di film ini. Tentu saja gerakan dalam tokoh-tokohnya tidak begitu matang, kita tidak bisa menguasai tai chi dalam satu atau dua tahun saja kemudian jadi mahir (kecuali mungkin secara ajaib dididik langsung oleh Zhang Sanfeng), namun tentu saja lebih baik daripada saya tidak bisa sama sekali. Saya berharap yang jadi tokoh Guru Pakku misalnya adalah aktor laga Jet Li, karena kita tahu gerakan tai chi-nya sangat bagus ketika ia berperan dalam film ‘Tai Chi Master’ dulu. Namun Francis Guinan yang memerankan Guru Pakku kali ini sudah cukup baik menurut saya, apalagi perannya di film ini hanya terkesan sebagai figuran belaka.

Ketiga, efek khusus. Saya rasa kalau film ini sepenuhnya menggunakan CGI mungkin masih bisa menyerupai animasinya, namun efek khusus kali ini masih ada beberapa kekurangannya. Terutama ketika pertempuran antara pengendali air dan pengendali api, jika dua-dua menggunakan efek khusus maka kekurangannya nyaris tidak tampak, namun ketika ada penggunaan elemen statis, misalnya api yang memang itu nyala biasa (bukan virtualisasi) akan tampak aneh jika bersanding dengan elemen air yang divirtualisasi – bayangkan saja, api kecil tidak padam saat ada banyak air tersiram ke atasnya.

Keempat, antara trailer dan movie. Ternyata tidak semua yang ada di trailer-nya tayang dalam film-nya – wah, apa itu berarti pembohongan publik? Entahlah, saya tidak mau ikut campur. Yang jelas, karena dari awal sudah merasa tidak pas, jadi sulit juga memberi nilai bagus pada film ini. Dan mungkin hanya memberi nilai 2,5 dari 5 bintang yang mungkin bisa diberikan.

Dan terakhir, walau film ini secara unik ‘menghancurkan’ nyaris seluruh kesan hebat yang ada dalam animasinya, tapi juga tidak buruk, karena ada banyak detil kecil yang saya sukai. Atau jika Anda suka, mungkin sebagai hiburan menunggu lanjutan animasinya? ‘Avatar: Legend of Korra’?

8 tanggapan untuk “The Last Airbender”

  1. gak usah nyampe ke kendari juga gpp deh…:p,

    seriusss…..loe gak bakal nyesel kalo gak nonton uga….
    Aang gak seperti yang kita harapkan,..beda ama di film animasinya….
    LEMOT BGT GITU…..
    PAYAH…
    JARI TENGAH BUAT M. Night Shyamalan…

    Suka

  2. TuSuda,

    Begitulah Dok, tapi lumayan menarik kok ditonton, hanya mungkin tidak pas dengan selera para penggemar film animasinya Dok.

    Suci,

    Maknya jangan berburu piggy saja kerjaannya, jadi telat deh…, tapi awas jangan sampai 'telat' benaran.

    Aku ga jadi ke Ketep, ga diantar sih, he he, becanda, tadi ada serangan tension headache jadinya malah meringkuk di rumah :(.

    Boleh-boleh, ditunggu nih calon penulis :).

    Suka

  3. haduuuuww..telat jd yg pertama… ehem..ehem… knapa gak nyebut namaqu aja ya skalian..hohohoho…

    btw..thx a lot yak udh mau dipaksa bikin crita ginian…

    abis ni jgn lupa bikin ttg KETEP ya..tp sorry gak bisa nganterin…hehehehe…

    next time pengen ksi kmu bahan biar kmu yg edit…(brasa jd editor..hohohoho).. numpang eksis dikit…

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.