Duduk termenung di bawah atap ilalang tua, aku pun mulai melaju anganku menembus helaian udara yang sudah lama tak kasat mata itu. Seakan berpacu dengan sinar senja, sayangnya laju anganku bukan tandingannya.
Mengapa angin tak lagi menyentuh kelusuhan di atas dedaunan yang tua, dan bersembunyi di antara yang masih menunjukkan kemudaan dan keperkasaannya, untuk berdamping dengan sekuntum keindahan yang dititipkan masa lalu mereka semua.
Aku bisa merasakan napasku menyusup perlahan saat terhirup ke dalam relung kehampaan. Tercium aroma debu-debu dari tanah pengharapan yang mencoba berlomba untuk terbang menyaksikan kemegahan jingga langit senja. Ketika sinar membelah ruang di antaranya, mereka bergemerlap seakan menjadi cermin dari ego-ku yang sebenarnya tak pernah mengendap, ya…! persis, melayang seperti debu-debu itu.
Tanah tak lagi terkais oleh sinar sang mentari yang biasanya membakar hingga ke palung sukma. Namun aromanya semakin kental seakan hilangnya angin tak membuatnya luruh kembali ke pangkuan pertiwi. Apakah memburu kemegahan telah membuat rupa terlupa bahwa itu hanyalah sesuatu yang hampa.
Ya, aku termenung dan membiarkan anganku tergurat di titian senja, untuk kemudian lenyap bersama kidung malam dari setiap benih asa untuk hari esok.

Tinggalkan Balasan ke gerhanacoklat Batalkan balasan