Waktu saya bertugas di Banyuwangi, Jawa Timur sudah usai. Kunjungan terakhir kami sebagai tujuan wisata adalah Teluk Hijau, salah satu pantai yang terpencil di sisi Selatan wilayah Banyuwangi, terletak di sebelah Barat Pantai Rajegwesi yang berada di Baratnya Pantai Pulau Merah. Teluk Hijau bisa dikatakan sebagai surga yang tersembunyi, mungkin secara harfiah memang demikian.
Dari Kota Genteng, kami menuju Kota Jajag di Gambiran, lalu kemudian menuju Pasanggaran di Selatan. Ke arah Barat dari Pasanggaran di sepanjang Jalan Sukamade. Arah Pantai Pulau Merah juga terletak pada jalur utama yang sama, demikian juga Wisata Sukamade yang terkenal dengan pelepasan tukiknya, yang sepertinya tidak akan sempat saya kunjungi.
Kami memasuki wilayah perkebunan yang cukup luas selepas Pasanggaran. Wilayah Sarongan akan menjadi persinggahan selanjutnya. Tanjakan tajam dan berbatu menuju Sukamade adalah jalur yang diambil. Setelah menanjak kurang lebih 1 Km dengan sepeda motor, akses berjalan kaki menunggu untuk dijejaki sepanjang 1 Km lagi. Perjalanan sepeda motor masih bisa dilakukan dengan motor bebek biasa dan kendaraan matic yang agak tinggi, seperti salah satu Yamaha X-Ride yang kami gunakan.
Sarongan adalah tempat terakhir kami bisa menemukan penjual bensin botolan di daerah yang berjarak lebih dari 30 Km dari Kota Jajag tersebut. Saya juga tidak ingin menemukan SPBU di sepenjang jalan setelah Jajag. Jadi jika bahan bakar Anda dalam kondisi terdesak, di sini adalah tempat yang baik untuk berhenti sejenak.
Jalan setapak ini cukup menantang, medannya tidak seberat seperti saat kami mengunjungi wisata Air Terjun Lider, tapi jalannya yang menurun dan panjang sungguh melelahkan ketika kembali dari pantai.
Teluk Hijau tidak dapat langsung ditemukan, tapi tersembunyi di balik bukit karang kecil di sisi Barat dari Pantai Batu. Dan sebaiknya sepanjang perjalanan tetap waspada, selain memang cukup curam dan didampingi jurang, hewan liar seperti kera masih bisa dijumpai di sini dan bisa berperilaku agresif.
Bagi yang pertama kali tiba di Pantai Batu tanpa mengenal banyak tentang seluk beluk mencapai Teluk Hijau mungkin akan putus asa. Karena tidak mudah menemukan jalan kecil yang tersembunyi. Sebenarnya ke pantai lebih menyenangkan menggunakan sandal yang mudah dilepas kapan saja, tapi melihat medannya, saya sangat menganjurkan menggunakan sepatu jelajah.
Kami sempat putus asa karena tidak menemukan jalan akses ke Teluk Hijau, bahkan terasa ingin kembali pulang saja. Untungnya beberapa wisatawan yang datang sebelumnya menunjukkan akses “rahasia” masuk ke Teluk Hijau. Dan viola, kami tiba di surga yang tersembunyi.
Teluk Hijau benar-benar seperti namanya, “Green Bay”, air laut yang jernih kebiruan dan pasir putih halus yang lembut, serta tembok alam yang nyaris belum terjamah dalam kemegahannya yang hijau. Elang terbang dengan tenangnya di bawah langit yang mendung, dan saya menemukan surga kecil di bawahnya.
Pantai ini cukup tenang, tidak banyak wisatawan lolak di sini, hanya kebetulan kami bertemu dengan rekan-rekan dari FKG UNEJ yang pernah jadi teman satu kost saya dulu. Sempat berencana bareng main ke sini, tapi tidak terwujud, ternyata malah bertemu dengan tidak sengaja. Justru wisatawan asing banyak datang di sini, didampingi pemandu wisata atau biro wisata yang berasal dari luar daerah – entahlah, mungkin juga ada yang berasal dari Banyuwangi. Jika Anda ingin sekaligus melatih “conversation”, ini adalah tempat yang baik untuk latihan.
Saya hanya berharap, pemerintah setempat lebih bisa memberdayakan lokasi ini. Tapi tidak terlalu dikomersialisasikan secara berlebih. Saya hanya tidak suka, agar tidak seperti di Bali, dulu masuk pantai manapun bisa leluasa, tapi sekarang biaya parkir, biaya masuk semuanya dikenakan, padahal ya fasilitasnya juga tidak begitu ditambah, ini membuat saya enggan ke pantai meskipun aksesnya bagus. Menghilangkan stres melalui wisata adalah sebuah investasi untuk kesehatan masyarakat, jangan membuat masyarakat enggan untuk berwisata.
Pulangnya kami tidak melewati Sarongan atau jalur awal lagi. Atas masukan salah satu pegawai jaga perkebunan di Sumber Jambe, kami memilih lurus ke Utara dengan harapan lebih cepat sampai dan tembus di daerah Glenmore sehingga mempercepat teman-teman yang balik ke Jember. Tapi apa yang kami coba sebagai jalanan tembus ternyata merupakan jalan tunggal di tengah Taman Nasional Meru Betiri, di mana satu sisinya adalah dinding bukit/gunung, di sisi lainnya adalah lembah/ngarai. Tidak ada sinyal, dan tidak ada tanda peradaban kecuali jalan kecil yang berukuran satu sepeda motor saja dengan pohon rebah dan tanah longsor di mana-mana.
Kami terjebak di jalanan kecil itu dengan bahan bakar yang semakin menipis, dan kelelahan yang memuncak, apalagi teman-teman FKG UNEJ yang ceritanya berangkat sejak pukul 03.00 dini harinya. Mereka tidak sempat istirahat kecuali di pantai. Perjalanan ini kurang lebih sejauh 11 Km, sebuah jarak yang cukup panjang membuat rasa putus asa menghampiri dalam situasi kami.
Lega kami tiba di PAL 1 Perusahaan Perkebunan London Sumatra, dan menuruni perkebunan sepanjang 7 Km adalah pemukiman Nangka Jajar yang merupakan rumah-rumah paling Selatan di Glenmore. Dan dari sana, masih ada 16 Km lagi menuju jalan besar di Glenmore, yaitu Jalan Raya Jember. Jika saya tidak salah ingat, jalur ini tembus di sebuah pertigaan tidak jauh di Baratnya Hotel Minak Jinggo Glenmore.
Dan perjalanan panjang ini membuat kami merasakan, tidak hanya wisata pantai, tapi juga wisata pendakian, wisata jelajah alam (tril), wisata air terjun (yang tidak sadar dilewati begitu saja), wisata perkebunan, wisata kuliner (karena kelaparan), dan menjadi totalitas sebuah perjalanan yang panjang melelahkan namun memuaskan.
Tapi mungkin kalau dihitung, perjalanan ini tidak begitu jauh, hanya saja medannya cukup berat. Kendaraan Yamaha X-Ride saya terisi sekitar 4,5 liter pertamax dari Genteng, dan tiba di Nangka Jajar tepat pada garis putih sebelum huruf E (Empty), saya mengisi 2 liter premium untuk jaga-jaga kembali ke Genteng. Dan mungkin perjalanan ini menghabiskan 5 – 6 liter bahan bakar. Jika Anda ingin mencoba touring semi cross, jalur pegunungan Meru Betiri tersebut lumayan menyenangkan, tapi jalur ini tidak direkomendasikan bagi yang mencari jalur yang tenang dan damai.
Akhir kata, terima kasih pada (rekan, sejawat dan sahabat saya) Dokter Laili dan Dokter Dina atas kesempatannya dan luangan waktunya untik bertamasya di hari-hari terakhir kolompok ini bersama. Sampai jumpa, semoga sukses selalu.
20 tanggapan untuk “Teluk Hijau – Perjalanan Terakhir”
ini teluknya menghadap ke selat bali atau samudera Hindia bro? saya agak gak mudeng melihat peta dibandingkan dengan fotonya karena ada latar belakang daratan/pulau besar di seberang laut sana.
SukaSuka
Itu menghadap samudra Indonesia Pak :).
SukaSuka
Keren banget … wajib di kunjungin nich kalo mudik ke jatim besok 🙂
SukaSuka
Wah apalagi kalau kampung halaman, wajib dikunjungi :).
SukaSuka
Tumben postingannya panjaaang. SUka bacanya. Fotonya bagus-bagus ya. Memang Indonesia ini banyak simpanannya, selalu ada saja daerah indah yang belum ketahuan…
SukaSuka
Kebetulan untuk wilayah Jawa Timur ada 3 tempat wisata utama, duanya ada di Banyuwangi. Nanti mungkin saya tambahkan ceritanya jika memiliki kesempatan :).
SukaSuka
Saya baru tahu kalau di Banyuwangi ada yang namanya Teluk Hijau, mungkin karena medannya yang susah dijangkau sehingga orang jarang menceritakannya ya…
SukaSuka
Kalau untuk medan, saya rasa relatif tidak sulit dijangkau. Tidak perlu peralatan, kendaraan atau keahlian yang khusus untuk mencapainya. Hanya promosinya yang masih belum cukup baik, saya rasa ada banyak tempat seperti itu di Indonesia.
SukaSuka
Banyuwangi khususnya, dan Jawa Timur, sebenarnya punya potensi pariwisata yang baik. Tapi sayangnya, Banyuwangi ndak memanfaatkan kedekatan geografis dengan Bali untuk mempromosikan diri seperti yang dilakukan Lombok. Di hotel-hotel, ndak banyak saya temui brosur tentang pariwisata Banyuwangi yang dapat dibaca oleh wisatawan.
SukaSuka
Betul Mas Pushandaka, saya juga kaget, selama setahun di Banyuwangi ternyata begitu banyak tempat wisata alam yang tidak saya duga sebelumnya. Ini bisa menjadi sebuah potensi nyata jika ditata dengan lebih baik.
SukaSuka
Bagus pak … Kayak menantang nich… hehe 🙂
pak bisa kasih tau estimasi biayanya g ???
SukaSuka
AchSum, biaya apa? Kalau untuk bahan bakar Pertamax dan biaya makan siang, anggaran Rp 100.000 sudah cukup, karena tidak ada biaya lainnya. Masuk Taman Nasional Meru Betiri juga tidak dikenakan biaya, hanya wajib lapor saat memasuki wilayah perkebunan dan taman nasional tersebut.
Kalau dari luar kota mungkin bisa estimasi biaya perjalanan masing-masing yang akan sangat relatif.
Saya dengar juga ada yang menyediakan jasa transportasi wisata ke Teluk Hijau dan Sukamade dengan menggunakan mobil ranger berkapasitas 4-6 orang. Biayanya sekitar 1,5 juta rupiah, dan bisa dijemput jika berada di Banyuwangi atau Jember. Hanya saja biaya menginap di Sukamade harus dihitung juga, menginap satu malam di sana saya dengar dikenakan biaya Rp 50.000 per orang di penginapan lokal.
SukaSuka
rencana di sana 3 hari 2 malem pak …. niatnya klu bisa pantai” di banyuwangi dapet dikunjungi semua tp ini masih Gagap medannya…hehe 😀
terimakasih pak informasinya …
SukaSuka
Kalau pantai wilayah yang menghadap Laut Selatan, paling banyak dikunjungi adalah Plengkung dan Triangulasi yang keduanya ada di Taman Nasional Alas Purwo sekaligus bisa berkunjung ke Cagar Alam Pelepasan Sadengan. Kemudian Pantai Wisata Grajakan. Ke Barat lagi ada Pantai Pulau Merah. Setelahnya Pantai/Teluk Rajegwesi. Lalu memasuki Taman Nasional Meru Betiri ada Pantai Teluk Hijau dan Cagar Alam Sukamade. Sedangkan yang menghadap Selat Bali di Timur, saya hanya baru mengujungi Pantai Blimbingsari (tempat kuliner masakan laut), Pantai Bomo (bekas pasar ikan), dan Pelabuhan Muncar.
Kalau baru pertama kali mengunjungi tempat-tempat itu tanpa pemandu, pastinya bakalan bingung. Tapi rata-rata penduduk lokal di sepanjang jalan bisa membantu menunjukkan jalannya kalau bingung. Orang bilang kan malu bertanya sesat di jalan, kami ya juga tanya-tanya di jalan.
Semoga jalan-jalannya nanti menyenangkan Pak.
SukaSuka
perjalanan yg menyenangkan. walau terlihat gak ada peradaban, gak ada sinyal, jalur pulang pasti lebih menantang ya, pak
SukaSuka
Benar, justru itulah yang membuatbya menantang, plus bahan bakar yang menipis. Di mana balik ke jalan semula sudah tidak bisa lagi, dan maju ke tempat yang tidak diketahui adalah satu-satunya pilihan saat hari sudah menjelang senja.
SukaSuka
ya, kalo dilihat dari peta, warna hitam di jalur pulang menandakan itu hutan yang lebat, ketimbang jalur berangkat yg berwarna cerah berarti jalur terbuka. terlihat juga di gambar kedua akhir. ini namanya nekad traveler, pak. he
SukaSuka
Ya itu memang “alas asli”, untungnya tidak ada hewan buas sepanjang perjalanan. Sebenarnya sudah deg-degan juga, tapi kalau dibawa “hepi” ndak akan terasa kok. Kecuali kaki dan tangan yang agak pegal karena jarang berkendara sambil boncengan di medan seperti itu Mas.
SukaSuka
Setelah dari banyuwangi ke mana mas
SukaSuka
Rencananya sih balik ke Jogja.
SukaSuka