Glass Health AI adalah platform berbasis kecerdasan buatan (AI) yang dirancang untuk membantu dokter dalam mengelola pengetahuan medis dan membuat keputusan klinis. Platform ini merupakan hasil kerjasama antara Glass Health, sebuah perusahaan yang didirikan oleh Dereck Paul, MD dan Graham Ramsey, dan Y Combinator, sebuah perusahaan akselerator startup terkemuka di dunia.
Glass Health AI memiliki fitur utama yang disebut Glass AI, yang merupakan alat bantu diagnosis dan perencanaan klinis yang dapat menghasilkan daftar diagnosis diferensial (DDx) dan rencana klinis berdasarkan gejala, riwayat, pemeriksaan fisik, dan hasil tes pasien. Glass AI menggunakan teknologi natural language processing (NLP) dan deep learning untuk memahami masalah klinis dan memberikan saran yang relevan dan terbaru.
Glass AI juga dapat membantu dokter dalam belajar dan memperbarui pengetahuan medis mereka dengan menyediakan catatan digital yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi masing-masing dokter. Catatan digital ini dapat menyimpan informasi penting tentang pasien, penyakit, obat, pedoman, artikel ilmiah, dan sumber daya lainnya yang dapat diakses dengan mudah dan cepat.
Glass Health AI bertujuan untuk menjadi software klinis yang bebas gesekan (frictionless) yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan efisiensi kerja dokter. Platform ini masih dalam tahap pengembangan dan eksperimen, tetapi sudah mendapatkan banyak respons positif dari komunitas medis. Glass Health AI juga telah mendapatkan investasi dari Breyer Capital dan Y Combinator untuk mengembangkan generasi baru software klinis.
Glass Health AI adalah salah satu contoh inovasi teknologi yang dapat memberikan manfaat besar bagi dunia kesehatan. Dengan menggunakan kecerdasan buatan sebagai alat bantu, dokter dapat membuat keputusan klinis yang lebih akurat, cepat, dan tepat. Selain itu, dokter juga dapat belajar dan memperbarui pengetahuan medis mereka dengan lebih mudah dan efektif. Glass Health AI menawarkan solusi yang dapat mengatasi tantangan dan kesulitan yang dihadapi oleh dokter di era digital ini.
Bagaimana pengalaman menggunakan Glass Health AI?

Tentunya fitur yang paling menarik dicoba adalah Glass AI. Di mana dokter dapat memasukkan data klinis pasien seperti latar belakang (usia, jenis kelamin, ras – tapi hindari memasukkan data pribadi pasien yang dapat mengidentifikasi siapa pasien tersebut), hasil anamnesis (keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit saat ini dan riwayat kesehatan secara umum, termasuk riwayat lingkungan, perjalanan, dan lain sebagainya), hasil pemeriksaan fisik (tanda vital dan temuan lainnya), serta hasil pemeriksaan penunjang (laboratorium, rekam jantung, radiodiagnostik). Setelah itu dokter cukup menekan tombol analisis yang diinginkan, apakah DDX ataukah Clinical Plan.
Tulis semua representasi atau temuan masalah klinis secara jelas. Semakin banyak masalah klinis yang bisa diajukan, terutama permasalahan kunci, semakin terarah analisis yang dihasilkan.
Saya mencoba menggunakan temuan klinis sederhana dari kasus-kasus yang dapat ditemui di lapangan. Hasilnya secara singkat: memuaskan. Glass AI dapat merumuskan ulang permasalahan klinis pasien, kemudian memberikan argumen mengenai diagnosis kerja yang paling mungkin dan etiologi di belakangnya. Lalu memberikan sejumlah rekomendasi rencana penegakan diagnosis lebih lanjut.
Yang lebih menarik adalah bagaimana Glass AI memberikan rekomendasi tatalaksana klinis. Pada situasi di mana baru diagnosis kerja yang diajukan, maka penyelidikan lebih lanjut diperlukan, dan tatalaksana memberikan pilihan tatalaksana sesuai dengan hasil penegakan diagnosis lebih lanjut. Sementara pada kondisi klinis yang sudah ada dan memerlukan tatalaksana segera, maka jelas disebutkan, misalnya anemia dengan Hb di bawah 7 < 7g/dL, maka transfusi diperlukan. Lalu memberikan tindakan atau obat apa yang harus ditahan/dihindari terlebih dahulu.
Glass AI juga menyediakan versi 2.0, yang saat ini memberikan hasil lebih sederhana, dan dokter perlu memikirkan (seandainya tidak ada versi 1.0 yang berdampingan di sebelahnya), mengapa diagnosis banding tersebut muncul?
Yang menarik kedua menurut saya adalah kepustakaan komunitas. Sebuah kepustakaan luas yang dibangun oleh komunitas dokter. Isinya berupa temuan masalah klinis di lapangan, dan bagaimana melakukan pendekatan atau penanganan terhadap masalah tersebut.

Bagaimana dengan harga?
Versi gratis hampir mumpuni, sementara ada versi Pro yang berbayar senilai USD 12 per bulannya. Akses fitur Pro termasuk Glass AI, menyimpan permata pengetahuan dengan Pearl, menghubungkan halaman dan konsep, mengatur halaman dengan Koleksi, dan melihat Visualisasi pengetahuan medis. Versi gratis bisa menggunakan Glass AI dengan 5x DDx dan 5x Clinical Plan setiap bulannya.
Apakah ini membantu dan bisa diterapkan?
Selama bukan kondisi kegawatdaruratan, saya rasa ini dapat membantu di banyak hal. Situasi gawat darurat tidak memungkinkan dokter untuk banyak berkonsultasi saat melakukan stabilisasi kondisi pasien, tapi setelah pasien stabil, ada banyak kesempatan untuk mempelajari lebih jauh “mengapa pasien sampai mengalami gawat darurat?”
Saya sendiri selalu membawa aplikasi medis digital ke mana-mana, karena saya perlu rujukan medis dari kasus-kasus yang mungkin jarang saya temui, atau meragukan dengan banyak diagnosis banding. Tapi ini tidak umum di Indonesia, saya tidak melihat banyak sejawat yang memanfaatkan teknologi digital untuk membantu menegakkan diagnosis.
Walau saya katakan Glass Health AI membantu, tapi ada beberapa situasi yang menurut saya membuatnya sulit diterapkan di Indonesia.
Pertama, kendala bahasa. Dokter di Indonesia paham bahasa Inggris, tentu saja, tapi saya melihat lebih banyak sejawat menyukai referensi dalam bahasa Indonesia dengan terminologi kedokteran dari bahasa latin. Sementara Glass Health AI disusun oleh kolega dokter di Amerika Serikat, yang membuatnya berbahasa Inggris dengan terminologi dan singkatan dari bahasa Inggris AS. Ada banyak istilah dan singkatan yang diterapkan sebagai kaidah praktis yang berbeda antara di Indonesia dan Amerika Serikat.
Kedua, situasi klinis. Dalam bayangan saya, aplikasi Glass Health AI sulit diterapkan pada situasi rawat jalan (outpatient) di Indonesia, di mana dokter bisa menangani belasan hingga puluhan pasien setiap jam kerjanya. Kemungkinan besar akan sangat membantu dalam situasi rawat inap (inpatient), di mana dokter yang menemukan kendala dalam merawat pasien dapat mencari rujukan tambahan. Situasi lain yang memungkinkan adalah pada telekonsultasi / telemedicine, di mana dokter menerima data mentah yang kadang tidak bisa dipastikan ini ke arah mana dengan segera, AI akan sangat membantu dokter.
Ketiga, pembiayaan. Rekomendasi yang diberikan oleh Glass AI menurut saya sangat baik. Tapi pembiayaan untuk memilih rekomendasi tersebut rasanya belum terjangkau oleh pasien maupun sistem universal coverage yang ada di Indonesia saat ini. Seperti guyonan sejumlah sejawat, kedokteran di Indonesia itu bukannya tidak bisa canggih, tapi canggih itu masih terlalu mahal di Indonesia. Atau sederhananya, dokter tahu apa yang sebaiknya dilakukan, tapi memutuskan untuk tidak melakukan, demi menekan pembiayaan bagi pasien.
Sedemikian hingga dalam waktu dekat, saya rasa Glass Health AI tidak akan banyak diadopsi di Indonesia. Kecuali pusat tren bisa diarahkan ke kedokteran dengan asistensi AI, atau dengan pendekatan yang tailor-made bagi situasi sistem kesehatan di Indonesia.
Tinggalkan Balasan