Orang pasti pernah mendengar tentang keluhan terapi medis yang dirasakan gagal. Misalnya mengapa setelah diobati, penyakitnya kok tidak kunjung sembuh atau malah di sisi lain justru bertambah parah? Sebenarnya ada masalah apa?
Menyambung tulisan saya sebelumnya tentang “Obat, Jamu & Bahan Pangan”, kita akan sedikit bercerita tentang apa yang disebut sebagai efek terapeutik sebuah obat.
Jangan pertama-tama menyalahkan obat. Kasihan kan yang sudah memproduksi obat dengan susah payah. Tahukah Anda bahwa dari 100 jenis bahan/formulasi obat yang diuji pada tahap awal, paling hanya 1 yang lolos ke uji tahap kedua (yaitu uji dengan hewan percobaan dalam jumlah besar), dan lebih sedikit lagi yang lolos ke uji tahap selanjutnya untuk benar-benar bisa dijadikan sebuah obat, ini sering kali membuat ahli kimia farmasi dibuat frustrasi (Baca: Why Do So Many Drugs Fail?). Bagaimana tidak, pada akhirnya untuk sebuah satu jenis obat baru akan diperlukan biaya sekitar US$ 900 millions atau sekitar sembilan triliun rupiah. Nah, bayangkan saja jika Anda mendapat 3 resep obat yang berbeda, berarti setidaknya jika Anda membuat sendiri obat-obat itu untuk diri anda, maka akan perlu dana sekitar 30 triliun rupiah – fantastis bukan?
Efek terapeutik adalah suatu rangkaian dari sebuah terapi medis apapun, yang mana hasilnya dinilai sebagai sesuatu yang diharapkan atau bermanfaat. Sehingga kita juga mengenal ‘”lawannya” yaitu efek samping, yang bisa berarti tidak diinginkan atau bahkan membahayakan. Dari sini juga muncul istilah indeks terapeutik (atau rasio terapeutik) yang bermakna perbandingan antara jumlah suatu agen terapeutik yang menyebabkan dengan jumlah yang menyebabkan keracunan obat.
Jangankan obat yang bisa mengandung unsur terapi dan toksin, bahkan air pun bisa bersifat dua-duanya. Kalau melirik kembali dalam salah satu konsep dasar toksikologi, bahwa semua unsur di dunia memiliki kadar racunnya sendiri. Air yang terlalu sedikit bagi manusia menyebabkan dehidrasi, namun kelebihan air juga tidak baik, orang bisa mengalami edema paru, yang mana kedua kondisi itu bisa membuat seseorang kehilangan nyawanya. Bahkan oksigen yang menjadi sumber kehidupan juga demikian, pernahkah Anda mendengar tentang keracunan oksigen?
Nah, itulah mengapa sebuah terapi atau khususnya medikasi (terapi obat) hanya diberikan oleh mereka yang berkompetensi dalam meresepkan atau memberikan terapi. Karena ada unsur kerasionalan dalam memberikan resep, beberapa pertimbangan seperti efek terapi yang maksimal, efek samping minimal, harga obat yang serendah mungkin, hingga menghormati pilihan pasien dalam menentukan terapi adalah bagian dari penulisan resep yang rasional.
Mengapa seorang dokter meresepkan obat? Anda mungkin bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ada di benak seorang dokter saat menuliskan resep untuk pasien. Beberapa pertimbangan akan ada di benak dokter, antara lain:
- Mengurangi gejala penyakit (semisal untuk nyeri diresepkan obat jenis ibuprofen);
- Memberikan substitusi terhadap defisiensi (misal, pada pasien hipotiroidisme akan diresepkan levothyroxine, atau pada penderita xeropthalmia akan diresepkan vitamin A);
- Mencegah suatu penyakit (misal pemberian aspirin guna mencegah infark miokard/serangan jantung), atau
- Menyembuhkan penyakit (misalnya obat antimalaria untuk penderita malaria).
Namun tidak selalu alasan peresepan obat adalah hal-hal di atas, resep juga bisa diberikan untuk memperbaiki sebuah kondisi tertentu sebelum intervensi lain dilakukan, untuk memantau perkembangan kondisi pasien, untuk uji terapi guna membantu diagnosis, hingga merespons harapan pasien dan membangun hubungan baik antara dokter dan pasien.
Dokter adalah salah satu profesi yang berhak dan berkompetensi dalam meresepkan obat sesuai dengan bidangnya. Jika diambil dari contoh Permenkes RI No. 284/MENKES/PER/III/2007 tentang Apotek Rakyat (unduh berkas di sini), maka yang dimaksud resep adalah permintaan tertulis dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Tentunya dokter tidak pernah berharap bahwa resep diberikan pada pasien tidak bermanfaat apalagi membahayakan. Karena banyak sekali pertimbangan seorang dokter dalam menuliskan suatu resep, coba perhatikan gambar analogi berpikir di bawah:
Pun demikian ada saja faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan terapi, meski pertimbangan dokter telah tepat dan efek terapeutik obat juga sudah teruji.
Dalam buku “Obat-Obat Penting” oleh Apoteker Drs. Tan Hoan Tjay, ada beberapa hal yang mempengaruhi efek terapeutik, antara lain faktor variasi biologis dan patient compliance atau kesetiaan terapi pasien.
Karena adanya variasi biologis maka obat bisa memberikan respons yang berbeda bagi individu yang berbeda, sehingga dalam dosis yang sama ada pasien yang menunjukkan respons penyembuhan yang wajar, ada yang menunjukkan respons penyembuhan sangat baik, atau bahkan ada yang malah tidak memberikan respons penyembuhan sama sekali – yang mungkin berarti dosisnya mesti ditingkatkan atau diganti dengan obat dari golongan yang berbeda.
Kesetiaan terapi pasien juga sangat berpengaruh, dan dalam hal ini lebih banyak lagi faktor-faktor kompleks yang terlibat. Sifat individual pasien sangat menentukan, apakah pasien bisa meminum obatnya tepat waktu, bagaimana tingkat pendidikannya dan kepekaannya terhadap nyeri, misal biasanya obat nyeri hanya diminum jika diperlukan, namun jika pasien tidak tahan nyeri maka bisa jadi ia meminumnya berulang kali, jika ia tidak cukup terdidik untuk memahami bahaya obat secara umum, bisa jadi timbul ketergantungan atau keracunan obat karena konsumsi obat yang tidak sesuai dengan resep.
Hubungan dokter pasien juga merupakan hal yang penting. Jika pasien tidak menaruh perhatian pada apa yang disampaikan pada dokternya, bisa jadi resep hanya dianggap sebagai tanda jadi dan tinggal menunggu kesembuhan, padahal mungkin tujuan dan perjalanan terapi yang diharapkan bukanlah demikian. Demikian juga jika dokter tidak memberikan penjelasan yang cukup jelas bagi pasien, misal bahwa antibiotik harus diminum sampai tuntas, bisa jadi pasien akan menghentikan obat saat badannya mulai terasa ‘enakan’, padahal bisa jadi infeksi belum tuntas, dan potensial menimbulkan kekebalan/resistensi bakteri terhadap antibiotik yang diresepkan sehingga penyembuhan saat kekambuhan ulang akan menjadi sesuatu yang jauh lebih sulit.
Jenis penyakit juga bisa mempengaruhi ketaatan pasien. Penyakit berat yang dirasakan pasien cenderung memberikan ketaatan yang tinggi, jika nyeri dirasakan terus menerus, maka keinginan pasien untuk sembuh juga semakin menambah ketaatan berobat. Namun penyakit yang perlu obat jangka panjang namun tidak begitu dirasakan dampaknya, seperti diabetes dan hipertensi akan membuat pasien berpikir “tidak apalah” sekali dua kali tidak taat pada nasihat dokter, atau mengabaikan rencana terapi, padahal efek penyakit seperti ini hampir tidak dapat diperbaiki jika sudah bermanifestasi sebagai gangguan kesehatan yang nyata.
Jumlah dan jenis obat serta lamanya waktu terapi juga berpengaruh. Bayangkan seorang penderita TB mesti menjalani terapi dengan pelbagai jenis obat selama setidaknya 6 bulan, yang sering kali menimbulkan perasaan tidak nyaman & terbelenggu dengan terapi seperti ini, apalagi mesti didampingi oleh pengawas minum obat. Pasien akan cenderung merasa jenuh, dan kepatuhan terhadap terapi akan menurun.
Jadi kepatuhan pasien terhadap pengobatan sangatlah penting. Hal ini mungkin tampak sederhana, namun dalam penerapannya sering kali tidak sesederhana itu.
Sehingga Anda perlu memperhatikan benar-benar saat dokter memberikan penjelasan tentang rencana terapi, efek terapi yang diharapkan dan kemungkinan kegagalan terapi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika ada yang kurang jelas, jangan sungkan bertanya pada dokter anda. Ketika resep diberikan, pastikan semuanya jelas, jika tidak silakan bertanya kembali pada dokter atau apoteker tentang resep. Tulisan “10 Hal yang Perlu Anda Ketahui tentang Resep Obat” mungkin akan membantu Anda.
Beberapa orang mungkin juga berpikir bahwa karena dokter meresepkan obat generik jadinya tidak begitu ampuh, dan penyakit anda kemudian tidak sembuh. Sebenarnya untuk obat dengan kandungan yang sama dan fungsi terapi yang sama, tidak ada perbedaan bermakna terhadap efek terapeutik antara obat generik dan obat paten. Sebagai tambahan informasi, tulisan Cakmoki yang berjudul “Antara Obat Generik dan Obat Paten” sangat saya anjurkan untuk dibaca. Jadi jangan sampai nanti muncul salah sangka tentang pemberian obat generik oleh dokter.
Beberapa pasien juga memiliki hobi pindah-pindah dokter ketika dirasakan kondisinya tidak membaik saat berobat ke salah satu dokter. Misal seorang pasien hari ini periksa ke Dokter A, 2 hari kemudian gejalanya tidak membaik dan ia pun pergi ke Dokter B, selang 3 hari ia mengunjungi Dokter C karena belum juga merasa lebih baik. Namun tahukah Anda bahwa setiap kali si pasien berkunjung ke dokter baru, maka dokter akan menilai dan mendiagnosis ulang kondisi pasien sedari awal (kembali pada gambar analogi pemikiran dokter di atas). Dan dokter bisa jadi memberikan terapi yang serupa sebagaimana yang diberikan dokter sebelumnya, yang tentunya ada kemungkinan tidak memperbaiki kondisi si pasien sama sekali. Dan akhirnya si pasien menyerah dan pergi ke alternatif saja.
Biasanya dokter akan meminta pasien untuk kontrol kembali dalam 3 hingga 5 hari jika kondisinya tidak membaik, atau sesegera mungkin jika kondisinya justru memburuk. Ingatlah, terapi tidak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh dokter maupun pasien. Namun karena dokter tersebut yang pertama kali menangani pasien, maka dialah yang paling mengerti perjalanan penyakit pasien yang dikelolanya melalui rekam medis yang sudah terdokumentasi dengan baik. Jadi jika terapi awal tidak berhasil, maka dokter akan memiliki peluang untuk menilai di mana dan apa penyebab kegagalan terapi, sehingga bisa diberikan jalan keluar yang tepat, apakah dengan terapi yang sama namun dengan petunjuk yang lebih jelas jika ternyata dalam analisis ditemukan ketidakpatuhan pasien terhadap terapi; ataukah dengan terapi pengganti sesuai dengan perjalanan penyakit, atau pasien memerlukan pemeriksaan tambahan untuk menemukan kausatif lain yang mungkin terlewatkan atau tersembunyi sebelumnya, pun jika perlu, pasien dapat dirujuk ke dokter ahli yang tepat.
Jika pasien merasa ingin mendapatkan masukan lainnya, silakan meminta pertimbangan dokter anda, karena dokter mungkin bisa mengarahkan ke mana anda bisa mendapat second opinion secara baik dan memperjelas masalah anda. Atau jika Anda meminta second opinion ke dokter lain yang sudah Anda tentukan sendiri, setidaknya secara etis Anda selayaknya juga menginformasikan hal ini kepada dokter anda. Termasuk jika Anda mendapatkan masukan lain, sebaiknya didiskusikan dengan dokter anda. Karena jika Anda menjalankan terapi lain tanpa sepengetahuan dokter anda, bisa jadi menimbulkan risiko yang tidak diharapkan.
Mintalah anjuran pada pakarnya, namun tidak juga salah mempertimbangkan masukkan dari pelbagai sisi, termasuk para sahabat anda berdasarkan pengalaman mereka. Tetaplah bijak jika Anda memutuskan untuk berkonsultasi kesehatan secara daring (online) pada situs kesehatan tertentu, karena bagaimana pun juga online medical consultation bukanlah pengganti konsultasi dokter dan hubungan antara dokter pasien dalam arti yang sesungguhnya.
Nah, jika Anda menemukan/merasakan obat yang diberikan tidak mempan untuk gangguan/masalah kesehatan pasien. Sebaiknya kembali pada dokter dan berkonsultasi lebih lanjut, bersama-sama menemukan di mana permasalahannya yang menyebabkan terapi tidak berhasil, ataukah ternyata itu hanya bagian dari perjalanan penyakit yang wajar. Kesembuhan tidak semata-mata ditentukan oleh obat, namun kerja sama yang baik antara dokter, pasien dan lingkungan.
Tinggalkan Balasan