Para aktivis yang menyebarkan gerakan pencegahan penyebaran HIV sering menggunakan kampanye kondom sebagai salah satu medianya. Salah satu praktek yang umum adalah membagikan kondom gratis ketika peringatan hari AIDS sedunia.
Secara mendasar saya sendiri setuju dengan ide kampanye kondom ini. Kampanye seperti ini mengingatkan betapa pentingnya pelindung ketika berhubungan seks guna mengurangi risiko penularan HIV. Saya rasa simpul ketidaksetujuan muncul ketika seolah-olah komunikasi dalam kampanye ini memberikan lampu hijau pada aktivitas seks bebas di dalam masyarakat.
Saya rasa tidak demikian, membagikan kondom bukan berarti memberikan kesempatan seseorang melakukan seks bebas. Kalau saya tanya sendiri, jika Anda menerima kondom gratis saat kampanye kondom, apakah Anda akan menggunakannya untuk seks bebas? Saya rasa tidak jika Anda tidak memiliki kebiasaan itu. Tapi jika Anda memiliki kebiasaan melakukan seks bebas, ya itu bisa jadi.
Dalam kampanye pencegahan HIV, kampanye anti seks bebas juga dilakukan bukan? Karena memang itu adalah cara yang secara relatif lebih efektif dibandingkan penggunaan kondom. Tapi kadang ini tidak cukup – itulah poinnya dalam kampanye kondom.
Saya ibaratkan begini, Anda memiliki mobil, Anda pun memasang alarm anti maling pada mobil anda, untuk mencegah terjadinya pencurian. Lalu mengapa tidak mendidik masyarakat saja agar tidak mencuri atau menjadi pencuri, bukankah itu lebih baik? Ya, memang masyarakat yang sadar akan tidak mencuri itu adalah sebuah kebaikan bagi kita semua. Tapi toh ternyata ada pencurian bukan, sehingga kita perlu melakukan pengaman.
Nah demikian juga ada bagian dari masyarakat yang memang terbiasa dengan pergaulan bebas dengan seks bebas di dalamnya. Dan kelompok inilah target dari kampanye kondom tersebut. Tentu saja bukan berarti kampanye kondom adalah pengganti dari kampanye menghindari seks bebas yang persuasif.
Karena penyebaran HIV adalah masalah nyata di masyarakat, demikian juga dengan perilaku seks bebas.
Bahkan ketika kampanye menghindari perilaku seks bebas telah ada di masyarakat, dikuatkan dengan pelbagai upaya lainnya untuk tujuan serupa. Entah mengapa, menurut saya itu pun tidak menjamin bahwa perilaku seks bebas akan terhapus – sesuatu yang ada di masyarakat sejak dulu dan tidak ada solusi nyata hingga kini untuk menghapus sepenuhnya.
Mungkin hal ini karena kesadaran individu sendiri yang menentukan karakter dan perilakunya dalam keseharian. Nasihat dan tekanan sering kali akan gagal tanpa adanya kesadaran. Dan ketika itu tidak berhasil, saya rasa kita memerlukan metode lainnya.
Ada juga bagian lain yang sering kali terlupakan. Bahwa dengan menolak kampanye kondom, kita telah melakukan diskriminasi pada penderita HIV/AIDS. Ingat perlindungan bukan hanya untuk yang belum terinfeksi HIV tapi juga pada mereka yang telah terinfeksi HIV agar bisa mengurangi risiko penularan pada pasangannya yang belum terinfeksi.
Penderita HIV juga memiliki hak asasi dalam kebutuhan seksual mereka, ketika kampanye kondom ditolak, berarti kita juga turut melarang mereka berhubungan tanpa pengaman. Bukankah prinsip kampanye kondom bukan untuk melegalkan seks bebas namun mengingatkan pentingnya perlindungan ketika berhubungan seksual guna mengurangi risiko penularan HIV. Ketika kita menolak kampanye kondom, kita telah melakukan diskriminasi pada para penderita ini.
Bahkan pada sesama penderita HIV pun ketika berhubungan seksual pengamanan kondom tetap disarankan.
Saya kadang ingin bertanya pada mereka yang menolak kampanye kondom, saya hendak mempertanyakan. Apakah mereka pernah berpikir atau merenung hingga sejauh ini? Apakah mereka pernah menyentuh seberapa jauh empati bisa diberikan pada nurani mereka yang menderita HIV?
Rasanya tidak ada orang yang ingin terkena HIV, kadang mereka tidak selalu terinfeksi dari seks bebas atau penggunaan jarum suntik untuk narkoba, namun mereka tiba-tiba tahu terinfeksi HIV. Mereka pastinya berharap sebisa mungkin tetap bisa hidup sewajarnya, termasuk dalam hubungan suami-istri. Dan kini salah satu hal yang bisa menolong mereka untuk itu sedang dikampanyekan, dan ada sekelompok orang yang mengutuk kampanye itu, kampanye yang memberikan harapan untuk hidup sewajarnya pada mereka dengan HIV/AIDS – dan dapatkah kita merasakan pada yang para penderita ini rasakan jika melihat “pengutukan” itu? Pun para penderita ini terinfeksi melalui seks bebas dan penggunaan narkoba, apakah itu membuat mereka berhenti menjadi manusia, sehingga kita berhak mendiskriminasikan mereka?
Saya hanya ingin mengajak sahabat sekalian melihat kembali pro dan kontra ini dari sudut pandang yang berbeda, dari sisi yang mengedepankan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Saya tidak memiliki jawaban untuk masalah pro dan kontra kampanye kondom ini, saya sendiri cenderung mendukung kampanye ini, kecuali saya memiliki solusi nyata untuk menghapuskan perilaku seks bebas dari muka bumi dan menyembuhkan semua penderita HIV/AIDS serta memusnahkan virusnya dari muka bumi juga, mungkin saya akan berada pada pihak kontra. Walau agak hiperbola, namun saya hanya ingin menjadi realistis.
Tapi pendapat yang menyatakan bahwa kondom tidak bisa mencegah penularan HIV 100% adalah benar, karena itulah disebutkan mengurangi risiko penularan. Saya tidak tahu, mungkin teknik komunikasi kampanye kondom kurang begitu baik, sehingga menimbulkan persepsi melegalkan seks bebas, apalagi saya kurang begitu memperhatikan kampanye yang ada saat ini.
Gambar di atas adalah cuplikan dari kampanye kondom di Afrika Selatan guna memerangi penyebaran HIV. Seluruh dunia menghadapi masalah HIV saat ini. Kondom dinilai sebagai salah satu solusi nyata dalam memerangi penyebaran infeksi HIV. Dan bukan berarti jalan-jalan lain yang bersifat persuasif, regulatif pun edukatif ditinggalkan.
Tinggalkan Balasan