Saya baru saja membeli sebuah Notebook PC, yaitu ASUS Notebook PC X201E. Saya termasuk orang yang agak sulit menerima argumentasi kiamat PC, hanya karena penggunaan komputer tablet dan ponsel cerdas meningkat. Karena saya sendiri termasuk orang yang susah bergerak dan bekerja bebas tanpa komputer fisik yang memang mencukupi. Tapi tentu saja saya sudah punya sebuah laptop lawas Acer TravelMate 6293, saya memutuskan untuk mendapatkan satu yang baru.
Belakangan ini saya sering berpindah tugas di daerah publik yang cukup sibuk. Kadang saya tidak bisa mengawasi lokasi saya menaruh laptop. Sehingga saya tidak ingin kehilangan (baca: kecurian) laptop lama saya yang memiliki kemampuan cukup mumpuni itu. Alternatifnya adalah, saya ingin sebuah laptop yang cukup kecil, mudah dipindahkan (ringan), ekonomis, dan elegan – tidak memandang keperluan spesifikasi yang menengah atau tinggi. Dan jika hilang, saya tidak akan terlalu menangis.
Asus X201E adalah salah satu produk yang termasuk anyar (ketika tulisan ini dibuat), dikatakan sebagai penerus EeePC yang merupakan laptop kecil (netbook) berspesifikasi rendah dengan harga yang cukup terjangkau. Eceran termahal notebook ini berkisar antara Rp 3.000.000,00 (kurang lebihnya seratus ribu rupiah).
Seri ini menggunakan layar 11,6 tipe HD Slim, sehingga cukup tajam apalagi untuk menonton film berkualitas definisi tinggi. Sayangnya masih merupakan layar Glossy LED, yang artinya cahaya memantul banyak pada layar. Penggunaan di luar ruangan pada terik matahari mungkin akan terganggu, sedangkan di dalam ruangan tidak akan masalah.
Meskipun dibekali dengan memori sebesar 4 GB DDR3, prosesor Intel Celeron berinti ganda hanya bekerja pada kecepatan 1,1 GHz (Intel® Celeron(R) CPU 847 @ 1.10GHz × 2 ) dan mungkin hanya efektif pada 800 MHz, serta grafis yang minimal (Intel® Sandybridge Mobile). Mengingatkan saya kembali pada Intel Pentium III yang cukup marak digunakan saat saya masih duduk di bangku sekolah. Beberapa orang mungkin akan ragu mengambil spesifikasi laptop seperti ini, namun pengalaman saya yang cukup lama, hal ini belum tentu akan menjadi masalah.
Keuntungannya adalah laptop ini dilengkapi dengan 1 buah porta USB 3.0 didampingin oleh 2 porta USB 2.0. Sudah mendukung HDMI, meskipun juga tetap tersedia porta VGA. Saya berpikir ke depannya, jika untuk presentasi, saya harap tidak akan terkendala. Tentu saja kelemahannya tidak terdapat bluetoth, infra red, media rom, tapi itu sudah hampir wajar pada komputer dengan harga murah. Cakram keras yang dibawa juga cukup lega, 320 GB.
Meskipun bisa dikatakan murah, jelas tidak tampak murahan. Bahan pembungkus (case) memang terbuat dari plastik, tapi desainnya cukup elegan membuat saya suka. Dilengkapi dengan baterai yang cukup untuk membuat sebuah sistem operasi Linux Ubuntu bertahan 2-3 jam, berbeda dengan sejumlah kelas lain yang bisa bertahan hingga 8-10 jam, baterainya termasuk kurang hemat, dan waktu untuk melakukan charge penuh juga cukup lama. Bagi Anda yang memerlukan waktu penggunaan laptop dengan daya tahan baterai mencapai 5 jam atau lebih, saya tidak merekomendasikan laptop ini.
Permasalahan lain adalah, laptop ini cukup panas jika digunakan untuk beberapa tugas sekaligus. Anda mungkin tidak akan merasa nyaman memangkunya, namun palm rest cukup dingin dan tidak akan mengganggu. Asus X201E memiliki speaker sendiri, sehingga cukup enak untuk mendengarkan musik. Jika bepergian bisa dibantu dengan ear phone tentu saja. Untuk urusan multimedia ringan, tidak perlu dikhawatirka mernurut saya.
Lalu untuk sistem operasi, saya tidak menggunakan Microsoft Windows. Saya mencari toko-toko komputer di wilayah saya jika mereka menjual Windows Genuine, tapi ternyata tidak ada, hanya saja mereka melayani memasang Windows dan software (yang katanya) lengkap pada laptop yang mereka jual. Saya tidak khawatir, saya bisa memasang Linux tentu saja.

Sebenarnya saya ingin mencoba Joli OS, karena menurut saya sistem operasi paling ringan pada komputer berspesifikasi rendah bahkan pada komputer lawas pun masih bisa. Sayangnya Joli OS tidak bisa dipasang pada komputer berbasis 64-bit ini, sehingga saya harus mencari alternatif lain. Saya tahu, openSUSE teranyar cukup ringan, namun saya sedang tidak ingin menggunakan yang sama dengan yang ada di laptop utama saya.
Saya dengar di luar negeri, Asus X201E dipaketjualkan bersama Ubuntu 12.04, sayangnya saya tidak punya. Saya punya Ubuntu 12.10 hanya saja edisi 32-bit. Linux koleksi saya kebanyakan 32-bit, dan menunggu Ubuntu 13.04 nanti akan cukup lama di akhir bulan ini. Saya pun beralih mencoba menggunakan Pear OS 7 64-bit yang kebetulan belum lama dirilis. Pun sebelumnya saya sempat memasang Ubuntu 12.10 yang tampaknya berjalan dengan baik pada laptop ini, namun sayangnya sedikit berat, terjadi lag pada beberapa kinerja terutama multi-tasking.
Pear Linux versi terbaru ini menjadi pilihan karena beberapa hal:
- Ringan tentu saja, tidak memerlukan terlalu banyak resource, sesuai dengan laptop saya yang spesifikasinya tinggi. Untuk mengetik di blog ini menggunakan Firefox (singgle tab) di ruangan ber-AC, baterai bisa bertahan hingga 4,5 jam; jika dibandingkan dengan Ubuntu yang mungkin hanya memberikan 2,5-3 jam daya hidup – mohon dikoreksi jika saya keliru.
- Out of the box, yang bermakna setelah dipasang bisa memainkan pelbagai jenis berkas multimedia secara instan tanpa perlu memasang codec tambahan. Saya bisa memainkan berkas musik OGG, MP3, dan FLAC serta memainkan berkas video AVI, MP4, MKV secara leluasa. Ini sementara saya rasa cukup.
- Memiliki tampilan yang menarik, dan merupakan distro Linux yang memberikan cita rasa Mac OS tentunya dengan mempertahankan keunggulan Gnome 3 melalui Pear Shell yang unik. Penggunaan fonta juga menurut saya sangat baik dan readibilitasnya tidak mengecewakan.
- Semua peranti lunak dasar yang diperlukan tersedia, saya tidak merasa ada ruang yang terbuang karena software yang biasanya tidak pernah saya gunakan. Dan jika memerlukan tambahan peranti lunak maka repositori Ubuntu siap digunakan.
Memasang Pear OS Linux cukup mudah, mengunduh berkasnya sebesar 1,1 GB – lalu saya menggunakan Linux Live USB Creator pada Windows Vista saya. Langsung bisa dipasang dengan mudah. Bahkan Wifi bisa dikenali secara langsung. Pasca pemasangan, saya bisa langsung menikmati sistem operasi berbasis Debian/Ubuntu Linux ini. Jika hendak tahu seperti apa Pear Os 7 ini, bisa dibaca ulasannya di blog Linuxed. Kecuali untuk tombol pintas papan ketik yang mengatur kecerahan layar, saya rasa tidak ada masalah yang bermakna.
Bagi saya yang mencari sebuah sistem hanya untuk mengettik dan membaca serta sedikit hiburan, maka sistem yang saya bangun sudah memenuhi semua itu, tentu saja dengan sistem yang legal di dalamnya dengan anggaran yang cukup terjangkau.
Bagi mereka yang gemar bepergian dan menulis, untuk anak-anak sekolah atau kuliah dasar, sistem seperti ini merupakan sebuah alternatif yang layak dipertimbangkan. Selain memenuhi semua keperluan perkantoran dan pendidikan dasar, Pear OS relatif mudah digunakan. Jika Anda tertarik, Anda bisa mencoba menggunakannya.
Tinggalkan Balasan