Target HbA1c yang ideal pada Penderita Diabetes Melitus

Pasien-pasien dengan Diabetes Melitus, atau sebut saja diabetes, dianjurkan menjalani pemeriksaan dan jika perlu juga menjalani pengobatan secara teratur dan berkala pada dokter atau dokter ahli, sesuai dengan kondisi dan komplikasi yang dialami oleh pasien tersebut.

Dalam ranah dokter keluarga atau dokter layanan primer, pasien mendapatkan lini awal tata laksana diabetes pemeriksaan rutin meliputi kadar ‘gula darah’ untuk mengetahui apakah terapi yang telah dijalani pasien selama ini membuahkan hasil dalam mencapai tujuan mengontrol glikemia atau kadar gula darah.

Pada awalnya, pemeriksaan Gula Darah Puasa lebih disukai dalam menentukan dan membantu menegakkan pemisah antara kasus diabetes dan non-dibates1. Setelah itu untuk menentukan apakah penderita diabetes memiliki risiko yang besar terhadap komplikasi diabetes, kontrol rutin HbA1c disarankan, ini juga termuat dalam Konsensus Perkeni pada tahun 20152 yang saat ini menjadi rujukan dokter di seluruh pelosok tanah air.

HbA1c disebut juga dengan Hemoglobin A1c atau hemoglobin terglikasi. HbA1c adalah suatu hasil pelekatan non-enzimatis molekul heksosa bagian asam amino terminal-N pada molekul hemoglobin. Penempelan molekul heksosa terjadi terus-menerus selama seluruh masa hidup eritrosit tergantung pada konsentrasi glukosa darah dan lamanya paparan eritrosit terhadap glukosa darah. Oleh karena itu, kadar HbA1c mencerminkan konsentrasi glukosa rata-rata selama periode sebelumnya (sekitar 8-12 minggu, tergantung pada individu) dan memberikan indikasi yang jauh lebih baik dari kontrol glikemik jangka panjang daripada penentuan glukosa darah dan urin. Pasien diabetes dengan konsentrasi glukosa darah sangat tinggi memiliki 2 hingga 3 kali lebih banyak HbA1c dibandingkan individu normal3.

Sayangnya, kontrol risiko komplikasi diabetes pada kenyataan di lapangan, tidak selalu berlangsung dengan baik.

Ada beberapa halangan yang penulis kadang temukan dalam praktik layanan kesehatan primer maupun sekunder.

Pertama-tama, akses terhadap pemeriksaan HbA1c masih dianggap suatu metode pemeriksaan penunjang yang mewah, sehingga tidak semua layanan kesehatan primer dan layanan kesehatan sekunder menyediakan atau menawarkan pemeriksaan HbA1c sebagai standar kontrol risiko komplikasi diabetes. Sebagai gantinya pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS), atau gula darah puasa (GDP) lebih banyak ditawarkan. Apakah ini terkait dengan pembiayaan melalui metode penjaminan? Penulis juga tidak dapat memastikannya. Padahal mungkin saja pemeriksaan HbA1c lebih ramah pembiayaan dibandingkan pemeriksaan GDP sebagaimana yang banyak dilakukan saat ini, sebagai salah satu penelitian di Inggris beberapa tahun yang lalu4.

Sama halnya dengan pemeriksaan laboratorium GDP, pemeriksaan HbA1c juga tidak tanpa kekurangan. Ada sejumlah kondisi yang dapat mengarah pada peningkatan palsu atau penurunan palsu kadar HbA1c dalam pemeriksaan5. Misalnya saja, kadar trigleserida yang tinggi dalam darah, konsumsi alkohol dan/atau opiod dalam jangka waktu panjang, atau keracunan timbal bisa menimbulkan peningkatan palsu dalam pemeriksaan. Sementara sebaliknya, kondisi-kondisi yang menyebabkan usia sel darah merah memendek dapat menyebabkan penurunan palsu seperti pada kehilangan darah akut atau kronis, anemia hemolitik, serta pembesaran organ limpa. Konsumsi suplemen atau vitamin seperti vitamin E, Ribavirin, serta interferon-alfa juga bisa menyebabkan hasil penurunan palsu.

Dengan secara hati-hati mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, pemeriksaan HbA1c dapat menjadi alat penunjang yang handal bagi tenaga medis.

Permasalahan lain yang kemudian timbul adalah, seberapa ideal target HbA1c yang baik bagi seorang penderita diabetes?

Ini pun dapat menjadi diskusi yang panjang.

Salah satu pedoman yang baru saja rilis adalah dari ACP6, yang memberikan kisaran 7%-8%, dan kemudian jika dibandingkan dengan standar dari asosiasi profesi lainnya, standar ACP dinilai terlalu longgar. ADA misalnya menargetkan <7%, sementara pedoman dari AACE menargetkan <6,5%.

Dalam satu perspektif, ditekankan bahwa kunci dari penerapan target HbA1c adalah terletak pada kajian medis dari masing-masing pasien7. Perbedaan antara pedoman mungkin menjadi sesuatu yang baik bagi para dokter/klinisi, di mana menunjukkan bahwa tidak ada satu jawaban yang mutlak benar. Mereka yang baru menderita diabetes, masih muda dan cukup sehat akan dapat terbantu oleh pada pedoman yang menargetkan kontrol gula darah secara ketat. Sementara pada pasien yang kurang sehat, lanjut usia, memiliki keterbatasan, dan yang berpotensi mengalami hipoglikemia, target kontrol yang lebih longgar mungkin lebih aman bagi mereka.

Kini kembali pada masing-masing klinis, dengan keahlian, pengalaman dan pengetahuan dalam mengelola target kontrol indeks gula darah pada masing-masing pasiennya.

Saya pribadi, masih berpatokan pada Konsensus Perkeni 2015 yang mudah diterapkan di layanan kesehatan primer.

Algoritme Pengelolaan DM.jpg
Algoritme Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. Sumber: PB Perkeni.

Daftar Bacaan:


  1.  Ghazanfari, Z., Haghdoost, A. A., Alizadeh, S. M., Atapour, J., & Zolala, F. (2010). A comparison of HbA1c and fasting blood sugar tests in general population. International journal of preventive medicine1(3), 187. 
  2.  Indonesia, P. E. (2015). Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di IndonesiaPB. PERKENI
  3.  Goldstein, D. E., Little, R. R., Lorenz, R. A., Malone, J. I., Nathan, D., Peterson, C. M., & Sacks, D. B. (2004). Tests of glycemia in diabetes. Diabetes care27(7), 1761-1773. 
  4.  Gillett, M., Brennan, A., Watson, P., Khunti, K., Davies, M., Mostafa, S., & Gray, L. J. (2015). The cost-effectiveness of testing strategies for type 2 diabetes: a modelling study. 
  5.  Radin, M. S. (2014). Pitfalls in hemoglobin A1c measurement: when results may be misleading. Journal of general internal medicine29(2), 388-394. 
  6.  Qaseem, A., Wilt, T. J., Kansagara, D., Horwitch, C., Barry, M. J., Forciea, M. A., & Clinical Guidelines Committee of the American College of Physicians. (2018). Hemoglobin A1c targets for glycemic control with pharmacologic therapy for nonpregnant adults with type 2 diabetes mellitus: a guidance statement update from the American College of Physicians. Ann Intern Med168(8), 569-576. 
  7.  Abbasi, J. (2018). For Patients With Type 2 Diabetes, What’s the Best Target Hemoglobin A1C?. JAMA319(23), 2367-2369. 

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.